Kamis, 25 Juni 2015

INFAQ (UST. RAKHMAT HIDAYAT)



Mukadimah


Sesungguhnya telah banyak ayat yang menyebutkan tentang infaq. Dari sekian banyak ayat dapat kita simpulkan bahwa infaq merupakan sifat yang identik dengan para ulul albab (orang-orang yang berakal). Setiap orang yang mau menggunakan akalnya, ia akan menyadari bahwa infaq merupakan tindakan yang harus dilakukan guna menciptakan kestabilan batin dan kemakmuran bersama.
Dengan infaq, kita melatih diri kita untuk merasakan penderitaan orang lain seperti kita merasakan penderitaan kita sendiri. Dengan demikian kita akan terhindar dari sikap menganiaya diri sendiri dan orang lain. Dalam hal pembentukan diri, seseorang yang mengetahui hakikat dan tujuan dari infaq akan memiliki perasaan tenang dan puas dengan apa yang dimiliki. Ia menyadari bahwa harta yang ia miliki mengandung amanat yang harus disampaikan kepada mustahiknya, sehingga ia tidak dihinggapi sifat sombong sewaktu berkecukupan dan tidak mudah putus asa ketika kekurangan. Manusia yang menyadari hakikat ini akan memiliki kestabilan ruhani dimana cahaya ruhani tidak lagi dipengaruhi oleh factor-faktor materialis eksternal. Sehingga tidak ada bedanya antara menjadi Sulaiman pemilik kerajaan dan Ayub yang menderita sakit hampir sepanjang hidupnya. Dalam hal ini Imam Ali as. pernah memberikan kiat untuk itu dengan kalimatnya, “Ingatlah bahwa setiap kelezatan memiliki batas akhir, setiap kenikmatan akan berpindah tangan, tapi ingat pula bahwa setiap musibah pasti ada akhirnya…” .
Pemahaman yang benar akan hakikat harta duniawi yang Allah anugerahkan kepada kita, menjadikan keperdulian kita kepada nasib orang lainpun akan semakin besar. Bahkan pada tingkat tertentu, infaq akan menciptakan sifat itsar yaitu dengan ikhlas mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan pribadi. Dari hati yang perduli akan penderitaan orang lain akan tercipta kemakmuran dalam nasyarakat.

Infaq, antara sirriy dan `alaniy
Dalam sebuah ayat Allah berfirman tentang ulul albab, “…mereka mendirikan shalat dan berinfaq dengan rizki yang kami anugerahkan kepada mereka, baik infaq itu dilakukan secara tersembunyi atau terang-terangan”. 1

Ayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa ada dua macam infaq dilihat dari tekhnis pelaksanaannya, yaitu sirriy (tersembunyi) atau `alaniy (terang-trangan/jahr). Ayatullah Sayid Husein Fadhlullah mengatakan bahwa seseorang yang hendak berinfaq harus mampu mengidentifikasi kondisi (ruhani)nya sebagai pemberi dan mustahik sebagai penerima. Kondisi apakah yang menuntut penginfaq untuk secara sembunyi atau terang-terangan membelanjakan hartanya. Dalam ceramahnya beliau mengatakan bahwa tujuan dari infaq sirriy adalah :
 Menjaga kehormatan penerima infaq. Dimana pemberian yang terang-terangan akan menyakiti perasaan atau mempermalukan si penerima infaq. Dalam kondisi tertentu, niat baik terkadang tidak ditanggapi dengan baik. Jika kita tidak berusaha mengidentifikasi secara jeli maka infaq yang kita berikan akan menjadi madharat, bagi kita maupun si penerima. Tujuan kita membahagiakan orang lain dengan berbagi tidak tercapai sebagaimana kebahagiaan si penerima akan berbuah kesedihan.
 Menghindari sifat riya dalam beramal. Riya adalah satu kondisi ruhani dimana kita melakukan satu perbuatan dengan tujuan mendapatkan kesan dari selain Allah. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mendapatkan kesan dari makhluk adalah perbuatan riya, dan riya hanya akan membuahkan kekecewaan. Karena kebanyakan manusia menilai kita dengan kebaikan atau keburukan hanya dengan landasan keuntungan dan kerugian yang ia dapatkan dari apa yang kita lakukan. Ketika seseorang berkuasa, banyak manusia yang memujinya dengan bermacam pujian dan sanjungan. Akan tetapi ketika tiba waktunya dimana ia terpuruk dan menjadi lemah, masyarakat yang sebelumnya mengelu-elukan akan segera meletakkannya dibawah alas kaki mereka. Hanya dengan memurnikan tujuan kita kepada Allah, kita mampu menciptakan nilai fadhilah dalam setiap amalan kita. Dalam shalat kita diajarkan untuk selalu membaca “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua itu karena Allah Tuhan alam semesta” . Ketika amalan yang kita lakukan hanya karena Allah, maka penilaian makhluk tidak lagi mempengaruhi kondisi ruhani kita. Orang lain memuji atau mencela, hal itu tidak berpengaruh pada kita. Rasul bersabda, “Beruntunglah orang yang takut kepada Allah sehingga ia tidak merasa takut kepada selain-Nya”.

Sedangkan infaq dilakukan secara terang-terangan dengan tujuan untuk tasyji` (memberikan semangat) kepada orang yang ada di sekitar kita untuk ikut berinfaq. Diharapkan dengan cara seperti itu orang-orang yang ada di sekitar kita akan terketuk pintu hatinya untuk mengulurkan tangan mereka demi membantu sesama. Barangkali itulah makna yang sesuai untuk istilah berdakwah dengan harta. Dakwah yang dituntut agama adalah sinkronisasi antara apa yang kita katakan dan apa yang kita perbuat. Bahkan dalam banyak situasi, dakwah perbuatan akan lebih mengena pada sasaran ketimbang dakwah dengan menggunakan lisan kita. Begitu banyak orang mengungkapkan teori-teori folosofis yang pada akhirnya hal itu menjebak mereka dalam idealisme agama.
Dalam sebuah ceramahnya, Ayatullah Muthahari mengatakan bahwa kegagalan dakwahnya para pendakwah agama adalah ketergantungan mereka kepada hubungan antara “mulut” dan “telinga” dan tidak pernah menintik beratkan pada metode hubungan antara “tangan” dan “mata”. Artinya dalam ushlub dakwah, kita lebih akrab dengan kaidah saya bicara anda mendengar daripada kaidah saya berbuat anda melihat.
Sehubungan dengan ini Imam Shadiq as. berkata : “Jadilah kalian da`i-da`i kami tidak (hanya) dengan mulut-mulut kalian…”
Infaq secara `alaniy dilakukan sebagai satu bentuk dakwah yang nyata, tentunya ketika kita tetap pandai menjaga dan memelihara keikhlasan hati kita.

Infaq dan pembebasan diri

Dalam ayat yang merupakan pokok bahasan kita pada tulisan ini dapat kita lihat bahwa Allah mengaitkan masalah infaq dengan akal. Karena itu perlu kita pelajari lebih dalam hubungan ini.
Infaq adalah amalan yang memiliki tiga sisi yang menjadi dasar kehidupan setiap manusia. Ketiganya harus dimiliki oleh setiap manusia yang berakal. Ketiga sisi itu adalah :
1. Sisi individu, yaitu sisi pembentukan ruhani manusia. Dengan pembentukan ini akan terlahir manusia dengan ruhani yang kuat dan tidak mudah terombang-ambing oleh perubahan ekternal materialis. Disaat kondisi fisik kebanyakan manusia mempengaruhi ruhaninya, ia tidak mengalami itu. Lebih dari itu kondisi ruhaninya mampu menuntunnya dalam menghadapi setiap goncangan fisik. Disaat kebanyakan manusia merasakan keputusasaan karena musibah, ia merasakan musibah itu sebagai satu keindahan karena ia mengetahui hakikatnya. Ketika kecerdasan intelektual tidak lagi mampu memecahkan masalah, ia masih memiliki kecerdasan lain yang lebih tinggi. Kecerdasan itu yang sering disebut kecerdasan spiritual. Infaq merupakan salah satu latihan membentuk pribadi yang dermawan dan murah hati. Menilai sesuatu bukan dengan untung rugi materi tapi menilainya dengan nilai keutamaan kemanusiaan (bahkan ketuhanan), yang ia dapatkan dari infaq. Orang menjadi kikir karena ia menilai untung dan rugi dengan kacamata materi. Ia merasa bahwa memberi adalah kehilangan sesuatu dan setiap kehilangan berarti kerugian. Sementara bagi orang-orang yang mengetahui hakikat infaq sehubungan dengan pembentukan diri, akan terhindar dari sifat kikir. Ia tahu bahwa kikir muncul dari perhitungan untung dan rugi secara materi. Allah berfirman “Barangsiapa yang terjaga dari sifat kikir maka ia termasuk orang yang beruntung”1. Allah menyebutkan orang yang kikir sebagai orang yang merugi. Karena meskipun secara materi ia tidak kehilangan sesuatupun namun secara hakikat wujud ia telah kehilangan banyak nilai keutamaan hidup. Ia telah membuang kesempatan untuk mengumpulkan harta yang sangat berharga dalam perjalanan hidupnya. Karena itu Allah berfirman : “Barangsiapa yang kikir, sesungguhnya ia kikir terhadap dirinya sendiri”.2 Orang yang terhindar dari sifat kikir adalah orang yang telah berhasil mamahami makna sebenarnya dari kemanusiaan sebelum ia sampai pada makrifat ketuhanan. Kemanusiaan dalam Islam adalah satu kondisi dimana kita memperlakukan manusia yang lain sebagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri. Tidak menyakiti orang lain sebagaimana kita benci menyakiti diri kita sendiri. “Tidak disebut beriman salah seorang diantara kalian hingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri dan membenci segala sesuatu yang dibenci saudaranya”
2. Sisi sosial. Kita menyadari bahwa manusia adalah makhluk yang memerlukan interaksi dengan anggota komunitasnya guna memenuhi hajatnya dan menghindari madharat yang mungkin menimpanya. Karena itu seorang manusia tidak boleh mementingkan kebutuhan pribadinya saja dan tidak mengantisipasi benturan dengan mujtama dimana ia berada. Manusia adalah makhluk yang membawa gharizah hub adz dzat (kecenderungan cinta diri) dalam perjalanan hidupnya. Kecenderungan ini sering maenjadikan manusia terjebak dalam lautan ananiyah (egoisme) sehingga ia rela mengorbankan kepentingan masyarakat demi tercapainya tujuan individu. Infaq memberikan pelajaran agar kita selalu menyadari keberadaan kita sebagai bagian sebuah komunitas. Infaq melatih kita untuk ikut merasakan penderitaan orang-orang yang ada di sekitar kita. Kesadaran manusia akan kemasyarakatannya menjadikannya mampu merasakan kelaparan yang dialami oleh orang lain. Hal itu berangkat dari sebuah kesadaran bahwa juz (bagian) harus berinteraksi dengan bagian yang lain agar mampu menciptakan keharmonisan kull (keseluruhan). Dalam hadits Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal kasih sayang sesama, seperti satu tubuh. Jika sebagian anggota tubuh merasakan sakit maka anggota yang lainpun akan turut merasakannya dengan demam dan tidak tidur”.
Dalam hadits yang lain, Rasul bersabda : “Barangsiapa mendengar seorang muslim meminta pertolongan dan tidak menolongnya maka ia tidak termasuk golongan muslim”.
Infaq sebagai salah satu sifat ulul albab menanamkan dan menghidupkan tanggung jawab terhadap masyarakatnya.
3. Sisi ibadah, sisi ini merupakan sisi dimana manusia menyadari keberadaan dirinya sebagai hamba yang harus melaksanakan tugas penghambaannya kepada sang Khaliq. Syariat ilahi mengajarkan kepada kita untuk memenuhi kebutuhan hidup orang lain. “Tidak akan kelaparan seorang miskin kecuali karena orang kaya yang berfoya-foya”. Infaq, baik yang wajib (zakat, humus dll) atau yang disunnahkan (infaq, sadaqah dll) merupakan ajaran yang didukung oleh syariat ilahiyah, karena itu setiap hamba wajib memperhatikan dan melaksanakannya dengan ikhlash karena-Nya. Dengan kesadaran ketuhanan inilah manusia akan dengan ringan mengulurkan tangannya guna membantu sesama. Semakin besar kecintaan manusia kepada Allah maka berinfaq karena cinta merupakan tindakan yang menjadi impian bagi setiap pecinta. Dalam Al Quran, berkenaan dengan Ahlul Bait, Allah berfirman : “Mereka memberikan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan perang karena kecintaan mereka kepada Allah  Sesungguhnya kami memberi makan karena Allah, kami tidak mengharapkan balasan atau terima kasih “
Ayat diatas memberikan penjelasan tentangan hubungan yang erat antara infaq dan kecintaan kepada Allah. Seorang mukmin akan merasa bahwa Allah telah memberikan banyak kenikmatan kepadanya. Ia sadar bahwa semua itu wajib disyukuri. Allah telah mengajarkan kepada kita bahwa wujud syukur yang paling nyata adalah dengan mengajak orang lain untuk turut menikmati, karena Allah memberikan materi kepada kita sebagai wasilah untuk menuju kepada-Nya

Infaq merupakan konsep yang didukung oleh dalil akal maupun dalil syar`i, dimana kedua jenis dalil tersebut saling menguatkan dan menjelaskan. Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa akal mengajarkan kepada kita akan tiga hal :

 Memberi tanpa mengharap balasan
 Kesadaran akan keberadaan kita sebagai sekumpulan komponen penopang sebuah komunitas. Kesadaran bahwa dari koordinasi juz-juz akan tercipta kull yang kuat.
 Pencapaian keutamaan hakiki dengan usaha mencapai ridha sang Khaliq.

Nilai-nilai itulah yang akan mampu mengangkat derajat manusia baik secara individu, sosial dan ketuhanan.




Bahan bahasan
Fiker wa Thakafa edisi 13/09/03
Ceramah Sayid husein Fadhlullah

0 komentar:

Posting Komentar