Itsar , mendahulukan kepentingan selain kepentingan dirinya
Project Muharram 2015
[Rakhmat Hidayat]
22 Oktober
2015
Gema
Asyura merupakan buah dari itsar yang dilakukan oleh Imam Husein, keluarga dan
sahabat-sahabatnya. Imam Husein tumbuh bersama Rasulullah yang selalu
menanamkan sikap itsar dalam segala tindakan dan perbuatan.
Karena
itu, berbicara tentang itsar, mengingatkan kita bagaimana Rasulullah masih
memikirkan kebaikan bagi umatnya, bahkan pada saat Allah berkehendak menjemput
beliau.
Simaklah
riwayat berikut ini...
Saat itu, Fatimah binti
Rasulullah sedang diliputi kesedihan karena ayah tercintanya sedang dilanda
sakit, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru mengucapkan salam,
kemudian berkata: “Bolehkah aku masuk?” tanyanya. Tanpa mengetahui siapa orang
itu, Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,”
kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali
menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah,
“Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah dengan penuh lembut.
“Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah dengan penuh lembut.
Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, ” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini wahai kekasih Allah?” Tanya Jibril lagi. “Wahai Jibril, khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii!” – “Umatku, umatku, umatku”
Jadi saudara-saudaraku,
Jikalau kita diringankan
sakaratul maut kita, itu karena Rasulullah. Tapi mengapa umat yang diperjuangan
malah merampas tanah Fadaq puterinya, menebas leher washinya, meracun cucunya
serta menyembelih Husein tercintanya. Balas budi apakah yang diberikan oleh
umat ini untuk manusia yang telah memohonkan keringanan sakaratul maut bagi
umatnya bahkan saat ia sendiri mengalaminya.
Mengapa bisa
melakukan itsar
Berbicara memang mudah namun
melaksanakannya tidak semudah kata-kata. Marilah kita pelajari lebih jauh
mengenai itsar ini dan bagaimana Rasul dan para Imam mampu melaksanakannya agar
kita juga berusaha menauladaninya sebatas kemampuan kita.
Setidaknya
ada tiga pola berpikir yang berkembang dalam masyarakat :
1.
Pola titik
Adalah
sebuah pola berfikir dimana manusia tidak pernah beranjak dari dirinya
sendiri. Apa yang ia lakukan hanyalah untuk sebuah titik yaitu dirinya
sendiri. Ia tidak pernah beranjak ke titik yang lain. Pola seperti ini
menghasilkan karakter egois, mementingkan diri dan tidak perduli dengan
selain dirinya.Ia tidak akan pernah mengeluarkan hartanya untuk
membantu orang lain karena, baginya, perbuatan itu tidak memberikan
manfaat bagi dirinya. Bahkan ia akan tega menghancurkan selainnya demi kebahagiaan
diri.
2.
Pola Garis
Dengan
pola ini manusia telah melangkah dari satu titik ke titik yang lain. Ia
mulai melihat ada sesuatu di luar dirinya yang harus mendapatkan
perhatian. Ia mulai mengulurkan tangannya demi membantu selainnya.
Ia
melihat bahwa dengan membantu seseorang ia akan meringankan beban orang
yang ia bantu. Ia mulai mempertimbangkan hubungan antara kebutuhannya
dengan kebutuhan orang lain. Ia akan rela merogoh koceknya demi membantu
kaum papa dan tidak berdaya.
Ia
telah rela berpindah dari titik dirinya menuju titik selainnya. Ia pun
memberikan manfaatnya kepada selainnya.
3.
Pola lingkaran
Dengan
pola ini manusia melakukan gerakan lebih dari gerakan dari satu titik ke
yang lain hingga membentuk sebuah garis. Lebih dari itu, ia melanjutkan gerakan
itu dengan mengembalikannya pada dirinya.
Pada
pola garis, seseorang memberikan santunan kepada orang lain yang
membutuhkan untuk membantunya. Dengan itu hartanya berpindah dari
tangannya ke tangan orang lain sehingga orang lain mendapatkan manfaat darinya.
Pada
pola lingkaran, seseorang memberikan bantuan kepada orang lain bukan demi
orang lain akan tetapi demi dirinya sendiri. Ia mendapatkan kebahagian
dari senyum kaum miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia dirinya
dengan membahagiakan orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi
sarana untuk membahagiakan dirinya.
Pola
pikir lingkaran ini adalah pola ideal yang diajarkan oleh Al Quran dalam
banyak ayat. Diantara ayat-ayat itu adalah :
“…Barangsiapa
yang kikir sesungguhnya ia kikir kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah
maha kaya sedangkan kalian adalah fakir…”
“Barangsiapa
yang beramal baik maka itu untuk dirinya dan barangsiapa beramal jahat
maka kejahatan itu akan menimpanya”
.
…dan
berinfaqlah, sesungguhnya kebaikannya bagi kamu. Barangsiapa yang
terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk golongan beruntung.
…dan
mereka melakukan itsar (mendahulukan kepentingan selain dirinya meski ia
dalam kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia
termasuk golongan beruntung
Al
Quran sering mengulang kata ‘khairun lakum’ (lebih baik bagi diri
kamu) yang mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at
diturunkan demi kebaikan manusia.
Seseorang
yang berpola lingkaran dalam berfikir akan mendapati dirinya senantiasa
berada dalam kebahagiaan. Bahkan saat memberi ia tidak memikirkan apakah
dirinya berada dalam keadaan ‘lapang’ maupun ‘sempit’.
Semua
yang ia lakukan menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya karena semua
dilakukan dengan cinta dan keikhlasan kepada Allah yang telah
menganugerahi kenikmatan ini. Sebagaimana diabadikan dalam Al Quran :
“..karena
kecintaan kepada-Nya, mereka menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak
yatim, ibnu sabil, peminta-minta……”
“…karena
kecintaan kepada-Nya, mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak
yatim dan tawanan…”
Pada
tingkat pemikiran seperti ini, seseorang tidak lagi mendambakan balasan
dari penerima bantuan bahkan ucapan terima kasihpun tidak ia harapkan
: “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena cinta
kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah mengharap balasan bahkan
(sekedar) ucapan terima kasih…”
0 komentar:
Posting Komentar