Rabu, 28 Oktober 2015

Itsar , mendahulukan kepentingan selain kepentingan dirinya


Project Muharram 2015
[Rakhmat Hidayat]

22 Oktober 2015

Gema Asyura merupakan buah dari itsar yang dilakukan oleh Imam Husein, keluarga dan sahabat-sahabatnya. Imam Husein tumbuh bersama Rasulullah yang selalu menanamkan sikap itsar dalam segala tindakan dan perbuatan.
Karena itu, berbicara tentang itsar, mengingatkan kita bagaimana Rasulullah masih memikirkan kebaikan bagi umatnya, bahkan pada saat Allah berkehendak menjemput beliau.
Simaklah riwayat berikut ini...
Saat itu, Fatimah binti Rasulullah sedang diliputi kesedihan karena ayah tercintanya sedang dilanda sakit, tiba-tiba dari luar pintu terdengar seseorang berseru mengucapkan salam, kemudian berkata: “Bolehkah aku masuk?” tanyanya. Tanpa mengetahui siapa orang itu, Fatimah tidak mengizinkannya masuk, “Maafkanlah, ayahku sedang demam,” kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu. Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, “Siapakah itu wahai anakku?”
“Tak tahulah ayahku, orang itu sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,” tutur Fatimah dengan penuh lembut.

Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang. “Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya. Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya.
Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. “Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?” Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu, ” kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.
“Engkau tidak senang mendengar khabar ini wahai kekasih Allah?” Tanya Jibril lagi. “Wahai Jibril, khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?” “Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: ‘Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya,” kata Jibril.
Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakitnya sakaratul maut ini.”
Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.
“Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” Tanya
Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi.
“Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini
kepadaku, jangan pada umatku. “Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.
Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali segera mendekatkan telinganya. “Uushiikum bis-shalaati, wa maa malakat aimaanukum – peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.” Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. “Ummatii, ummatii, ummatiii!” – “Umatku, umatku, umatku”

Jadi saudara-saudaraku,
Jikalau kita diringankan sakaratul maut kita, itu karena Rasulullah. Tapi mengapa umat yang diperjuangan malah merampas tanah Fadaq puterinya, menebas leher washinya, meracun cucunya serta menyembelih Husein tercintanya. Balas budi apakah yang diberikan oleh umat ini untuk manusia yang telah memohonkan keringanan sakaratul maut bagi umatnya bahkan saat ia sendiri mengalaminya.

Mengapa bisa melakukan itsar
Berbicara memang mudah namun melaksanakannya tidak semudah kata-kata. Marilah kita pelajari lebih jauh mengenai itsar ini dan bagaimana Rasul dan para Imam mampu melaksanakannya agar kita juga berusaha menauladaninya sebatas kemampuan kita.

Setidaknya ada tiga pola berpikir yang berkembang dalam masyarakat  :
1. Pola titik
Adalah sebuah pola berfikir dimana manusia tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan hanyalah untuk sebuah titik yaitu dirinya sendiri. Ia tidak pernah beranjak ke titik yang lain. Pola seperti ini menghasilkan karakter egois, mementingkan diri dan tidak perduli dengan selain dirinya.Ia tidak akan pernah mengeluarkan hartanya untuk membantu orang lain karena, baginya, perbuatan itu tidak memberikan manfaat bagi dirinya. Bahkan ia akan tega menghancurkan selainnya demi kebahagiaan diri. 
2. Pola Garis
Dengan pola ini manusia telah melangkah dari satu titik ke titik yang lain. Ia mulai melihat ada sesuatu di luar dirinya yang harus mendapatkan perhatian. Ia mulai mengulurkan tangannya demi membantu selainnya.
Ia melihat bahwa dengan membantu seseorang ia akan meringankan beban orang yang ia bantu. Ia mulai mempertimbangkan hubungan antara kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain. Ia akan rela merogoh koceknya demi membantu kaum papa dan tidak berdaya. 
Ia telah rela berpindah dari titik dirinya menuju titik selainnya. Ia pun memberikan manfaatnya kepada selainnya. 
3. Pola lingkaran 
Dengan pola ini manusia melakukan gerakan lebih dari gerakan dari satu titik ke yang lain hingga membentuk sebuah garis. Lebih dari itu, ia melanjutkan gerakan itu dengan mengembalikannya pada dirinya. 
Pada pola garis, seseorang memberikan santunan kepada orang lain yang membutuhkan untuk membantunya. Dengan itu hartanya berpindah dari tangannya ke tangan orang lain sehingga orang lain mendapatkan manfaat darinya.
Pada pola lingkaran, seseorang memberikan bantuan kepada orang lain bukan demi orang lain akan tetapi demi dirinya sendiri.  Ia mendapatkan kebahagian dari senyum kaum miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia dirinya dengan membahagiakan orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi sarana untuk membahagiakan dirinya.
Pola pikir lingkaran ini adalah pola ideal yang diajarkan oleh Al Quran dalam banyak ayat. Diantara ayat-ayat itu adalah :

 “…Barangsiapa yang kikir sesungguhnya ia kikir kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah maha kaya sedangkan kalian adalah fakir…”

“Barangsiapa yang beramal baik maka itu untuk dirinya dan barangsiapa beramal jahat maka kejahatan itu akan menimpanya”
.
…dan berinfaqlah, sesungguhnya kebaikannya bagi kamu. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk  golongan beruntung.

…dan mereka melakukan itsar (mendahulukan kepentingan  selain dirinya meski ia dalam kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk golongan beruntung

Al Quran sering mengulang kata ‘khairun lakum’ (lebih baik bagi diri kamu)  yang mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at diturunkan demi kebaikan manusia. 
Seseorang yang berpola lingkaran dalam berfikir akan mendapati dirinya senantiasa berada dalam kebahagiaan. Bahkan saat memberi ia tidak memikirkan apakah dirinya berada dalam keadaan ‘lapang’ maupun ‘sempit’. 
Semua yang ia lakukan menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya karena semua dilakukan dengan cinta dan keikhlasan kepada Allah yang telah menganugerahi kenikmatan ini. Sebagaimana diabadikan dalam Al Quran :
 “..karena kecintaan kepada-Nya, mereka menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak yatim, ibnu sabil, peminta-minta……”
“…karena kecintaan kepada-Nya, mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan…”

Pada tingkat pemikiran seperti ini, seseorang tidak lagi mendambakan balasan dari penerima bantuan bahkan ucapan terima kasihpun tidak ia harapkan : “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena cinta kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah mengharap balasan bahkan (sekedar) ucapan terima kasih…”

0 komentar:

Posting Komentar