Kamis, 25 Juni 2015

SUDAH CINTAKAH KITA PADA MEREKA ?



(Di Nukil dari ceramah Muharram 1426 Hijrah / 2005 Masehi)
Oleh : Rakhmat Hidayat


بســــــــــم الله الرحـــــــمن الرحـــــــــيم


Mukadimah
Jika kita renungkan maka kita akan mengetahui bahwa nikmat pertama yang diberikan oleh Allah kepada manusia adalah dikeluarkannya manusia dari lingkaran ketiadaan (‘adam). Dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Diciptakannya manusia oleh Allah swt. Hal ini sebagaimana yang termaktub dalam kitab Allah :



“(1). Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakan. (2). Yang menciptakan manusia dari segumpal darah”.

Secara filosofis, ada menduduki tempat lebih tinggi dari tidak ada. Artinya dengan menciptakan manusia, Allah telah meninggikan dan mengangkat derajatnya.
Kita meyakini bahwa apa yang menjadi fi’il (perbuatan) Allah tidaklah berangkat dari sifat berhajat atau pertimbangan madharat dan manfaat yang kembali kepada-Nya. Allah tidak diuntungkan dengan “persembahan” makhluknya dan tidak dirugikan dengan kemaksiatan yang dilakukan terhadapnya. Allah tidak menjadi lebih agung dengan pujian dan tidak menjadi hina karena celaan. Dengan kata lain, fi’il Allah bukan untuk Allah tapi untuk makhluk yang dalam hal hal ini adalah manusia.

Satu-satunya yang menjadi dafi’ (pendorong) bagi fi’il Allah ini adalah cinta Allah kepada makhluk yang diciptakannya. Cinta Allahlah yang menjadikan manusia tidak hanya memiliki eksistensi yang diakui tapi juga eksistensi yang dimuliakan (ahsan at taqwim). Sedemikian diangkatnya derajat manusia sehingga segala sesuatu yang ada di alam ini diciptakan dan diperuntukkan bagi manusia, sebagaimana yang tersurat dalam Al Quran :



Dialah (Allah) yang telah menciptakan bagi kalian segala yang tumbuh di muka bumi ini. Kemudian Ia ciptakan langit menjadi tujuh lapis. Ia atas segala sesuatu maha kuasa. (Q.S. Al Baqarah : 29)

Perwujudan cinta Allah kepada manusia tidak hanya sampai disitu, terbukti (setelah manusia diciptakan) dalam perkembangannya manusia dianugerahi akal pikiran yang berfungsi sebagai detector yang dengannya ia mampu membedakan baik dan buruknya sesuatu atau perbuatan sehingga lebih memudahkannya dalam pencapaian kemuliaan.

Selain akal, Allah juga membekali manusia dengan al hawa yang dengannya manusia berkembang karena hawa adalah sekumpulan keinginan untuk mencapai sesuatu atau mendapatkan sesuatu.
Dengan itu semua, Allah membuktikan betapa cinta Allah kepada makhluk-Nya terutama yang bernama manusia. Fasilitas yang disebutkan diatas merupakan fasilitas yang bersifat internal (ada dalam diri manusia). Wujud cinta Allah kepada manusia tidak hanya hidayah secara internal (akal dan hawa) tapi Allah juga memberikan fasilitas external. Allah menurunkan syariat yang berisikan panduan tingkah laku dan amaliyah sehari-hari, dari mulai ibadah hingga muamalah. Peraturan itu ditujukan untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan jika diikuti dan ditaati. Siapakah yang lebih tahu tentang makhluk daripada penciptanya.


“Dan diantara manusia ada yang mengatakan “kami telah beriman”, tapi jika mereka disakiti di jalan Allah, ia anggap fitnah manusia sebagai azab Allah. Dan sungguh jika datang pertolongan dari Tuhanmu, mereka akan berkata “kami senantiasa bersamamu”, bukankah Allah yang paling tahu apa yang ada dalam dada setiap makhluk di alam semesta ini. (Q.S. Al Ankabut : 10)

Ditambahkan lagi nikmat oleh Allah bagi manusia, dimana syariat yang diturunkanpun dibawa oleh utusan pilihan yang menjaga tetap originalnya syari’at itu. Seseorang yang melaksanakan fungsi kekhalifahan Allah di muka bumi ini, yang menjadi perantara antara langit dan bumi.
Peran nabi Muhammad saw. (dan nabi-nabi yang lain) adalah menjadi perwujudan kepemimpinan Allah dan penerapan sifat-sifat-Nya di muka bumi ini. Sebagaimana yang kita dapatkan dalam banyak riwayat, tentang akhlak-akhlak mulia nabi Muhammad saw., kita meyakini dan menjadi saksi bahwa beliau telah melaksanakan kewajiban itu dengan sebaik-baiknya.
Dakwah menuju keselamatan yang beliau lakukan merupakan bukti sedemikian cintanya beliau kepada manusia. Dakwah yang beliau lakukan bukan kerena mengharapkan imbalan harta dan kekuasaan atau sum’ah yang lain. Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak
.


“Karena kasih dan cinta Allah engkaupun menjadi orang yang lembut. Jika engkau keras hati niscaya mereka akan berpaling dari kamu. Maafkanlah mereka, mohonkan ampun untuk mereka, ajaklah mereka bermusyawarah dalam urusan. Jika engkau berkehendak maka bertawakalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal” (Q.S. Ali Imran : 159)

Dari apa yang telah disampaikan diatas menjadi jelaslah bagi kita bahwa sesungguhnya kesempurnaan akhlak tidak akan tercipta tanpa berseminya cinta. Akhlak bukanlah sesuatu yang dapat kita set up dan kita rekayasa karena akhlak, secara praktis, adalah respon/reaksi spontan ketika seseorang menghadapi sesuatu peristiwa. Dengan kata lain sikap itu telah menjadi satu malakah yang mengakar dalam diri dan akan muncul bilamana dibutuhkan. Sikap spontan (malakah) itu tidak akan pernah tercipta kecuali jika hati kita telah dipenuhi cinta. Cinta menjadi jalur bersambungnya hati pecinta dan yang dicintai dan hubungan itu bersifat malakah dan spontan.

Kenali sesuatu maka kau akan mencintainya !
Tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak cinta, begitu kata para penyair. Banyak orang yang menyatakan bahwa mereka sangat mencintai sesuatu atau seseorang, akan tetapi ia tidak mengenalnya dengan pengenalan yang baik. Akibatnya apa yang dilakukan seringkali bertentangan keinginan yang dicintai bahkan bertentangan dengan konsep cinta itu sendiri. Banyak orang yang mengaku cinta kepada Allah tapi perbuatannya lebih mencerminkan keingkaran dan kebencian kepada Allah dan syariatnya. Jelas hal itu akibat dari kecintaan yang tidak berangkat dari pengenalan dan makrifat. Itu bukan cinta, melainkan fanatisme terselubung. Ia bukan orang yang mencintai tapi orang yang fanatik terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam salah satu ceramahnya, Prof. Dr. Jalaludin Rakhmat Msc. mengatakan bahwa salah satu yang menjadi patologi (gejala penyakit) dalam agama adalah apa yang disebut dengan pseodosufisme yang salah satu gejalanya adalah menyandarkan kebenaran dan hakikat kepada figure tertentu seperti kiai atau ulama bukan kepada nilai-nilai kebenaran. Hasilnya, ia akan bersedia membentur nilai-nilai kebenaran selama ia teguh melaksanakan fatwa figure yang ia jadikan rujukan. Fenoma ini disebutkan dengan indah oleh Imam Shadiq as.dalam syairnya :

تعصى الأله وانت تظهر حبه هذا لعمري فى الفعال بديع
لأن كان حبك صادقا لأطعته لأن المحب لمن احب مطيع

Engkau bermaksiat kepada Allah, tapi kau tunjukkan pakaian cinta
Bagiku ini adalah hal yang ganjil
Jika cintamu tulus, pasti kau akan menaatinya,Karena setiap pecinta akan menaati kekasihnya.

Jadi cinta yang sejati adalah cinta yang berangkat dari pengenalan dan makrifat yang sempurna akan obyek cinta. Jika cinta yang kita tanamkan dalam diri kita berangkat dari makrifat yang mendalam dan menghasilkan cinta maka segala yang kita lakukan akan sangat ringan dan menyenangkan. Pengenalan yang mendalam tentang uang, misalnya, akan menjadikan anda, dengan sukarela, mengorbankan waktu, tenaga dan segala yang anda miliki untuk mendapatkannya. Cinta sejati menjadikan kita rela berkorban demi yang kita cintai dengan tanpa penyesalan sedikitpun.


“(8). Dan mereka memberikan makan, karena cinta (kepada Allah), kepada seorang miskin, seorang yatim dan seorang tawanan. (9). (mereka berkata): Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena Allah, kami tidak mengharapkan balasan dan syukur kalian”. Al Insan : 8-9

Perjuangan yang dipersembahkan oleh Imam Husein as. memberikan gambaran kepada kita bagaimana seorang manusia yang mencapai puncak makrifat kemudian menghasilkan puncak kecintaan kepada Allah. Sehingga –baginya- Tuhan menjadi sangat dekat dan jelas baginya. Ketika orang berusaha untuk mencari dalil eksternal , ia telah menemukan dalil internal yang sangat kuat dalam dirinya dan tidak dihinggapi keraguan sedikitpun. Itulah hakikat dari ilmu hudhuri.
Imam Husein berkata :

“Wahai Tuhanku, bagaimana sesuatu yang dalam keberadaannya membutuhkan-Mu dijadikan petunjuk bagi keberadaan-Mu?, apakah selain-Mu memiliki kejelasan yang tidak Kaumiliki sehingga layak menjadi penjelas bagi-Mu ?, kapankah Engkau tersembunyi sehingga perlu dalil yang menunjukkan keberadaan-Mu ?, kapan Engkau jauh sehingga jaraklah yang menyampaikannya pada-Mu ?, sungguh butalah mata (hati) yang tiada mampu melihat-Mu!”

Cinta, dari sudut pandang akhlak dan sudut pandang fikih
Dalam keberagamaan kita, kita menemukan dua cara pandang terhadap agama yaitu sudut pangang fiqih dan sudut pandang akhlak.
Kedua paradigma diatas akan sangat menentukan kwalitas keberagamaan kita.
Orang yang menggunakan sudut pandang fikih melihat agama sebagai sekumpulan ritual yang merupakan taklif (beban) dan harus dijalankan sesuai instruktur yang baku. Dengan mempelajari sudut pandang ini, kita menemukan bahwa target yang ingin dicapai adalah sah dan tidak sahnya suatu amalan, gugur dan tidaknya sebuah kewajiban. Meskipun untuk menjalankan satu hukum fiqih ia seringkali menerjang hukum yang lain karena ilmu dan pertimbangan yang terlalu dangkal. Fikih minded atau fikih oriented menjadikan kita melihat agama sebagai sekat-sekat yang kita rasa membatasi ruang gerak kita dalam kehidupan. Pada akhirnya kita akan merasa jenuh dan bosan terhadap agama sehingga tidak mustahil akan muncul kelompok yang berbondong-bondong meninggalkan agama.
Sedangkan orang yang menggunakan sudut pandang akhlak dalam beragama, ia melihat bahwa agama adalah fasilitas untuk mengembangkan nilai-nilai fadhilah (keutamaan) yang akan membawa kita pada kebahagiaan hakiki. Nilai-nilai itu menitik beratkan pada fungsi agama dalam mengangkat derajat manusia. Dalam sudut pandang ini agama tidak lagi menjadi beban tapi menjadi sebuah keperluan yang tidak mungkin diabaikan. Target yang ingin dicapai dengan sudut pandang akhlak adalah mencapai nilai-nilai keutamaan untuk mengangkat derajat kita lebih tinggi lagi. Paradigma ini juga dapat kita sebut sebagai sudut pangang ruhani.
Sehubungan dengan penjelasan diatas, maka cinta kepada Allah yang diwijudkan dengan cinta kepada khalifah-khalifah yang menjadi wakil-Nya di muka bumi merupakan bagian penting dari keberagamaan kita. Cinta kita kepada mereka dapat dibagi menjadi dua macam :

• Cinta dengan sudut pandang fikih. Sebenarnya kita menamakannya cinta karena min bab musamahah (dispensasi) saja. Karena dengan sudut pandang fikih –sebagaimana yang telah kita jelaskan- tidak akan menyampaikan kita pada cinta. Hal terbaik yang mampu ia capai dengan cara ini adalah keikutan dan taqlid kepada mereka sebagai satu kewajiban yang baku. Orang yang mengikuti belum tentu mencintai. Karena ada banyak alasan mengapa seseorang mengikuti orang lain. Tidak sedikit jumlahnya orang yang mengikuti karena mengharapkan harta, kekuasaan, kesan atau kepentingan-kepentingan duniawi lainnya. Dalam hal ini, Imam Husein bersabda :
من احبنا لله وردنا نحن وهو على نبينا هكدا – وضم اصبعي- ومن احبنا للدنيا فان الد نيا لتسع البر و الفاجر 

”Barangsiapa mencintai kami karena (cinta kepada) Allah, maka (di akhirat)kami akan mendatanginya dan saat itu Rasulullah bersamanya seperti ini –sambil menyatukan dua jarinya-. Dan barangsiap yng ”mencintai” kami karena mengharapkan dunia, sesungguhnya dunia mencakup orang yang baik dan juga orang jahat”.(Tarikh Ibnu Asakir)

Suatu saat akan diketahui siapa yang benar-benar mencintai dan siapa yang hanya mengikuti karena sum’ah atau kepentingan duniawi yang lain. Dalam sebuah hadits, Imam Husein as. Bersabda :

الناس عبيد الدنيا والدين لعق على السنتهم واذا محصوا بالبلاء قل الديانون

”Manusia-manusia adalah hamba-hamba dunia sedang agama hanya ada di ujung lidah mereka. Jika ditimpakan bala kepada mereka, akan sedikit sekali orang yang beragama”.

Peristiwa Asyura merupakan filter untuk mengetahui orang-orang yang mencintai Imam as. dan orang-orang yang mengikuti karena kepentingan-kepentingan tertentu. Sehingga Imam as. mengadakan seleksi atas para sahabat yang ada di Karbala dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk mengikuti atau pulang meninggalkan.
Dalam Al Quran Allah telah berfirman :



“Apakah manusia-manusia itu menyangka bahwa Kami akan meninggalkan mereka setelah mengaku beriman kemudian tiada diuji lagi ?. Sungguhnya telah kami uji orang-orang sebelum mereka maka Kami telah mengetahui (perbedaan) antara orang-orang yang benar (imannya) dan orang-orang yang hanya berdusta”.

Cinta menyatukan pecinta dengan yang dicintai
Ketika cinta telah tumbuh berbunga di hati seseorang maka cinta itu akan senantiasa menyatukannya dengan orang yang ia cintai. Dia adalah aku dan aku adalah dia.
Banyak kenyataan dan bukti dimana dua orang yang saling mencintai memiliki keterikatan batin yang sulit untuk dijabarkan dengan logika atau kata-kata. Dalam kehidupan manusia, hubungan yang tercipta antara dua orang dapat dibagai menjadi dua : hubungan yang bersifat aqliyah dan hubungan yang bersifat ruhaniyah.
Hubungan aqliyah adalah hubungan antara dua manusia yang dilandasi oleh pertimbangan akal/logika dan biasanya hubungan yang dilandasi oleh nilai-nilai untung dan rugi, madharat dan manfaat yang kembali kepadanya. Sedangkan hubungan ruhani didasarkan kepada cinta yang menjadikan manusia melihat hajat orang lain seperti hajat sendiri sehingga tidak segan-segan memberikan sesuatu seperti halnya memberikannya kepada diri sendiri, mencintai orang lain sebagaimana mencintai diri sendiri
Sebagai contohnya, dalam hubungan aqliy, perbuatan baik yang kita lakukan kepada tetangga kita sering muncul karena merasa bahwa suatu saat kita akan membutukan tetangga kita. Hubungan ini akan berakhir dengan berkhirnya alasan/motivasi dalam diri kita.
Hubungan ruhaniyah adalah hubungan yang dilandasi oleh pertimbangan ruhani yang tujuan akhirnya adalah pencapaian keutamaan (fadhilah) tanpa mengharapkan balasan. Contohnya, perbuatan baik yang kita lakukan kepada tetangga kita berangkat dari keinginan kita untuk mendapatkan fadhilah “memberi” dan bukan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan.


“Sesungguhnya kami memberikan makan karena Allah. Kami tidak menghrapkan balasan dan rasa terima kasih” .
Dalam hal ibadahpun, Imam menyebutkan bahwa ibadah yang dilakukan dengan dorongan cinta akan bernilai lebih tinggi daripada hubungan yang dilandasi oleh harapan untuk mendapatkan balasan. Sehingga Imam Ali membagi ibadah menjadi tiga tingkat :

1. Ibadah pedagang, yaitu ibadah yang dilakukan seorang manusia karena mengharapkan masuk surga dan menikmati segala kenikmatan di dalamnya.
2. Ibadah hamba sahaya, yaitu ibadah yang dilakukan karena ketakutan terhadap kerasnya siksa api neraka dan azab yang kekal didalamnya.
3. Ibadah orang merdeka, yaitu ibadah yang dilakukan karena cinta dan karena melihat bahwa Allah yang pantas untuk diibadahi. Ia memerlukan ibadah sebagai satu kebutuhan yang sangat darurat.

Dalam doanya Imam Ali Berkata :
“Wahai Tuhanku, aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka-Mu atau karena tamak akan surga-Mu, tapi aku beribadah kepada-Mu karena cinta yang bersemi di hatiku”.

Cinta yang dilandasi oleh nilai-nilai ruhani (fadhilah) tidak akan berubah oleh perubahan sikap yang tejadi pada penerima cinta. Cinta para sahabat Imam Husein as. telah mampu menciptakan kestabilan ruhani dalam diri mereka. Perubahan kondisi di sekitaranya (eksternal) tidak merubah keimanan dan keikhlasan mereka dalam mengikuti perintah imam Husein as.. Dalam keadaan berkecukupan dan berkuasa atau dalam keadaan kekurangan dan tertindas, keikhlasan selalu tertanam dalam diri mereka untuk tetap berdiri membela Imam mereka. Sebagaimana yang terlontar dari mulut-mulut suci para syuhada Karbala :

ما رايت منه الا جميلا
“Tiada kulihat daripada-Nya kecuali keindahan”

Jadi, cinta yang berdasarkan makrifat yang sempurna akan menyatukan seseorang dengan yang dicintainya. Demikian juga dengan kecintaan kita kepada Ahlul Bait as. Akan terjadi proses fana antara kita dengan mereka. Barangkali inilah yang kemudian kita dengan dengan wahdat al wujud dalam pengertian bersatunya iradah (keinginan) kita dengan keinginan mereka.
Dalam sebuah hadits Imam Husein as. bersabda :



قال الحسين : من احبنا كان منا اهل البيت
فقلت : منكم اهل البيت ؟
فقال : منا اهل البيت (حتى قالها ثلاثا)
ثم قال : اما سمعت قول العبد الصالح :
” فمن تبعني فانه مني “

Imam Husein as. berkata : “Baramgsiapa mencintai kami, maka ia adalah termasuk dari kami Ahlul Bait?.
Aku (perawi) berkata : “Termasuk dari kalian Ahlul Bait ?
Imam berkata : “Ya, termasuk dari kami Ahlul Bait”. (beliau mengulanginya hingga tiga kali)
Imam berkata lagi : “Apakah engkau tidak mendengar perkataan seorang hamba shalil (dalam Al Quran) :
“Barangsiapa yang mengikuti aku, maka ia adalah bagian dariku”

Jika kita menelaah kembali riwayat-riwayat Ahlul Bait as. kita akan menemukan satu kenyataan bahwa hijab yang menghalangi kita untuk berhubungan dengan para Imam adalah hijab yang kitalah penyebabnya. Bagi mereka (Ahlu Bait as.), saat ini mereka melihat apa yang kita lakukan dan mereka adalah para saksi atas perbuatan kita. Dalam Al Quran, Allah berfirman :


“Dan katakanlah : beramallah kalian karena Allah, Rasul dn orang-orang beriman akan melihat amal kalian, dan kalian akan dikembalikan kepada yang mengehaui yang ghaib dan yang tampak kemudian akan diberitahukan kepada kalian segala yang telah kalian lakukan”.

Hal ini dikuatkan dengan banyaknya cerita dari para ulama yang mengalami pengalaman bertemu dengan Imam Mahdi as. ditempat dan kondisi tertentu. Saat itulah orang-orang shalih tersebut mampu membuka tirai hijab keghaiban. Syeikh Mar’asyi aN Najafi adalah salah satunya yang ditegur secara langsung oleh Sayidah Maksumah ketika satu hari ”lalai” berziarah kepada beliau.
Dari beberapa kisah dan riwayat menunjukkan dengan jelas bahwa cinta yang sangat besar kepada para Imam akan mampu menyatukan kita dengan mereka. Akan terjadi proses interaksi antara kita dengan mereka.
Artinya cinta menghilangkan batasan ruang dan waktu antara pecinta dan yang dicintai.

Manfaat mencintai Ahlul Bait as.
Sebagaimana Allah memerintahkan shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah-ibadah lain bukan karena Allah berhajat kepada ibadah-ibadah kita, tapi mengembalikan manfaat itu kepada manusia, maka demikian juga dengan perintah untuk mencintai Ahlul Bait as. Seluruh manfaat mencintai mereka adalah kembali kepada para pecinta. Mereka tidak menjadi agung karena pujian kita dan tidak menjadi hina ketika kita tidak memujinya, kerena dzat mereka adalah dzat yang agung nan suci. Sehingga dalam beberapa ayat disebutkan bahwa Rasulullah diperintahkan untuk tidak meminta imbalan kecuali kecintaan kepada Ahlul Baitnya dan kecintaan itupun akan kembali manfaatnya kepada kita.


”Itulah berita gembira yang disampaikan Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman dan mengerjakan amal shalih. Katakanlah (wahai Muhammad), aku tidak meminta imbalan apapun kecuali kecintaan kepada qurba (keluarga)ku. Barangsiapa yang melakukan kebaikan maka akan kami tambah kebaikannya. Sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha mensyukuri”. (QS Asy Syura 23)


”Katakanlah (wahai Muhammad) : ”Aku tidak meminta imbalan dari kalian kecuali semua untuk (manfaat) kalian. Imbalan untukku datang dari Allah. Sesungguhnya Allah atas segala sesuatu maha kuasa”. (QS As Saba:47)

Kecintaan kepada mereka adalah jalan yang akan menyampaikan kita kepada kebanaran dan hakikat, untuk kemudian menyampaikan kita kepada kebahagiaan yaitu sampainya kepada keridhaan Allah.



”Katakanlah (wahai Muhammad), ku tidak akan meminta imbalan dari kalian kecuali bagi barangsiapa yang ingin menemukan jalan menuju Tuhannya” (QS Furqan 19)

Jadi, apapun yang kita lakukan dalam rangka berwilayah kepada Rasul dan Ahlul Baitnya dan dilandasi karena cinta, semua manfaatnya akan kembali kepada kita. Dibawah ini sebagian hadits mengenai manfaat mencintai Ahlul Bait as.
عن ابو سعيد دينار قال : سمعت الحسين يقول : من احبنا تفعه الله بحبنا وان كان اسيرا في الديلم وان حبنا لتساقط الذنوب كما تساقط الريح الورق

Dari Abu Sa’id Dinar yang berkata : “Aku mendengar Imam Husein berkata : “Barangsiapa mencintai kami maka Allah akan memberikan banyak manfaat walaupum ia seorang tawanan di dailam. Sesungguhnya kecintaan kepada kami akan menggugurkan dosa sebagaimana angin yang menggugurkan dedaunan”.

الزموا مودتنا اهل البيت فان من لقى الله وهو يودنا دخل في شفاعتنا

“Berpeganglah pada kecintaan terhadap kami, Ahlul Bait !, sesungguhnya barangsiapa yang menemui Allah dalam keadaan mencintai kami maka ia termasuk ahli syafaat kami”. (Thabaqat Al Kubra : Abu Sa’id juz 1 hal 58).

Hajat kita terhadap wasilah
Untuk menyampaikan risalah kepada manusia, Allah telah mengutus para nabi. Ini bukan berarti Allah memerlukan atau berhajat kepada wujudnya nabi untuk menyampaikan risalahnya. Allah maha kuasa untuk menyampaikan risalahnya langsung kepada manusia, tapi karena keterbatasan manusia maka manusia tidak mampu menerima secara langsung dari-Nya. Bukan fa’iliyahnya yang tidak tapi qabiliyahnya yang tidak mampu menerima fa’iliyatul fa’il. Sehingga perlu perantara sekaligus filter yang memungkinkan risalah Allah itu sampai kepada manusia dengan sempurna sesuai dengan kemampuan manusia.
Dalam sebuah hadits Rasulullah bersabda :
لا تجمعوا اسمي وكنيتي وانا ابو القاسم الله يعطي وانا اقسم

“Jangan kalian mencapuradukkan nama dan julukanku,aku adalah Abul Qasim (karena) Allah yang memberi dan aku yang membagi (qasim)”.

Jika sampainya risalah dari Allah kepada manusia memerlukan wasilah, maka –min bab al aula- akan lebih berhajat lagi kepada wasilah untuk sampainya permohonan kita kepada Allah. Karena itulah kita melakukan tawasul untuk menyampaikan hajat kita kepada-Nya.




Akhirnya kita sampai kepada beberapa kesimpulan :

1. Cinta adalah penghubung yang paling sempurna antara kita sebagai pecinta dengan Rasul serta para Imam as. sebagai orang-orang suci yang kita cintai dan kita harapkan syafaatnya.
2. Cinta hanya dapat kita tanamkan jika dilandasi makrifat sempurna tentang apa atau siapa yang kita cintai. Semakin kita mengenal keutamaannya, semakin kita mencintainya.
3. Cinta sejati akan menyatukan kita dengan yang kita cintai. Tidak ada lagi batas ruang dan waktu bagi keduanya.
4. Manfaat cinta kepada Rasul dan para Imam akan kembali kepada diri para pecinta.

TANDA-TANDA CINTA KEPADA
AHLUL BAIT AS.

Setelah kita membahas tentang hakikat dan manfaat cinta kepada Ahlul Bait, perlu kiranya kita mengenal tanda-tanda cinta. Sehingga kita mengetahui apakah kita termasuk kedalam orang-orang yang mencintai atau sekedar menjadi orang-orang yang mengikuti. Beberapa tanda dibawah ini barangkali dapat dijadikan cermin untuk kita melakukan muhasabah nafsiyah.

1. Keinginan yang besar untuk senantiasa bertemu dan bersatu dengan yang dicintai. Allah berfirman :

“Wahai orang-orang Yahudi, jika kalian mengaku sebagai kekasih-kekasih Allah, maka jadikanlah kematian sebagai harapan jika kamu memang benar. Mereka tidak akan pernah mengharapkan itu untuk selamanya karena apa yang telah mereka lakukan, sesungguhnya Allah maha mengetahui orang-orang yang zalim”. (QS Al Jumuah : 6-7)

Demikian juga dengan kecintaan terhadap Ahlul Bait as. Jika kita mencintai mereka niscaya akan muncul keinginan untuk senantiasa bersama mereka. Hal ini dapat kita lakukan dengan banyaknya kita membuat hubungan dengan mereka seperti melakukan ziarah, tawassul, peringatan wiladah, syahadah atau memperbanyak shalawat dalam setiap kegiatan kita. Merupakan kebohongan besar jika seseorang mengatakan bahwa ia mencintai tapi ia enggan bertemu dengan yang dicintainya.

2. Mencintai sesuatu/seseorang berarti mencintai segala yang berhubungan dengannya dan membenci segala yang yang dibenci. Dalam kaidah disebutkan:
حب الشيئ حب لوازمه وبغض الشيئ بغض لوازمه

“Mencintai sesuatu berarti mencintai setiap yang berhubungan dengannya dan membenci sesuatu berarti membenci setiap yang berhubungan dengannya”.
Itulah yang menjadi landasan konsep tawalliy dan tabarriy.
Dalam haditsnya, Imam Ali as. berkata :
اصدقاءك ثلاثة : صديقك وصديق صديقك وعدو عدوك
اعداءك ثلاثة : عدوك وعدو صديقك وصديق عدوك

“Temanmu ada tiga : Temanmu, temannya temanku dan musuhnya musuh kamu. Musuhmu ada tiga : Musuhmu, musuhnya temanmu dan temannya musuh kamu”.

Sehubungan dengan hal ini Allah berfirman :

”Engkau tidak akan mendapati satu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir selama mereka berkasih-kasih dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya. Meskipun mereka adalah ayah-ayah mereka, anak-anak mereka, saudara-saudara mereka atau keluarga mereka. Merekalah orang-orang yang Allah telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dan dikuatkan dengan ruh darinya. Mereka akan dimasukkan kedalam surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, mereka kekal didalamnya. Allah ridha kepadanya dan merekapun ridha kepada-Nya. Mereka adalah pasukan Allah, ketahuilah sesungguhnya pasukan Allah pasti berjaya. (QS Mujadalah : 22)

Pada suatu hari majnun terlihat sedang menyandarkan tubuhnya ke sebuah rumah sambil menciumi dindingnya. Semua yang melihat merasa heran atas apa yang dilakukan. Salah seorang dari mereka bertanya tentang apa yang ia lakukan. Dengan ringan ia menjawab dengan syairnya:

Aku lalui banyak dinding hingga sampai
di dinding rumah Laila
Aku ciumi dinding itu dengan penuh gelora
Bukan cintaku kepada dinding yang telah memenuhi jiwaku
Tapi cintaku kepada yang ada dibalik dinding ini

Karena itu, untuk membuktikan cinta kita kepada mereka dengan banyak mencintai apa yang mereka cinta dan menghindari apa yang tidak mereka sukai. Karena itu pada hari ini kita berkumpul bukan hanya untuk membuktikan cinta kita kepada Ahlul Bait as. tapi juga menunjukkan ketidak relaan kita akan perbuatan musuh-musuh mereka, karena dalam sebuah hadits disebutkan :
من رضي بفعل قوم اشرك فيهم

“Barangsiapa yang rela atas perbuatan suatu kaum maka ia termasuk didalamnya”

3. Orang yang mencintai akan rela mengorbankan segala yang ia miliki. Tanpa beban dan tanpa penyesalan. Semua terasa indah jika berhubungan dengan kekasihnya. Pengorbanan dirasakan sebagai kenikmatan tiada tara. Sebagaimana lantunan para syuhada Karbala bahwa “kematian lebih manis bagiku daripada madu”.
Ketika tubuh Imam Ali as. dipukul pedang oleh Abdurahman bin Muljam, beliau berkata : “Wahai Tuhan pemilik Ka’bah, aku telah berjaya (melaksanakan tugasku) !”

Ketika cinta telah melekat, musibah terasa nikmat
Sederhana terasa hebat, perpisahan terasa kiamat, pertemuan sangatlah hangat
Tai kucing terasa coklat
4. Banyak mengingat (dzikir) nama orang yang ia cintai. Seorang yang mencintai akan senantiasa mengingat kekasihnya, dalam tidur atau terjaga. Dalam tidurpun ia sebut namanya. Hatinya tergetar saat mendengar namanya disebut. Bahkan dalam segala sesuatu ia melihatnya.
ما شيعتنا الا من اتقى الله واطاعه ولا يعرفون بالتواضع والتخشع واداء الامانة وكثرة ذكر الله

“Tidak termasuk syiah kami kecuali orang yang bertaqwa kepada Allah dan menaatinya. Mereka tidak dikenal kecuali dengan sifat tawadhu’, kekhusyuan dan banyak mengingat Allah”

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah bersabda :
البخيل حقا من اذا ذكت عنده لم يصل على

“Orang yang paling kikir adalah orang yang jika namaku disebut, ia tidak bershalawat kepadaku”

5. Tidak melihat dari kekasihnya selain keindahan.
ما رايت منه الا جميلا

“Tidak kulihat daripadaNya selain keindahan”

Sesungguhnya segala sesuatu yang berhubungan dengan yang ia cintai akan terasa indah dan manis. Sesungguhnya kebahagiaan adalah pilihan kita karena bencana bersifat obyektif sedangkan kebahagiaan dan penderitaan bersifat subyektif.

Imam Husein memberikan tauladan yang sangat luar biasa bagaimana seorang manusia melihat keindahan dalam segala yang ia terima dari Tuhannya termasuk musibah dan bala yang diturunkan-Nya.

KONSEKWENSI
MENCINTAI AHLUL BAIT AS.

Sepanjang sejarah perjalanan hidup Ahlul Bait as. mereka hidup dalam lingkaran musibah dan bala. Dimulai saat Rasulullah saw. dipanggil Allah hingga Imam Mahdi as. Bahkan karena kondisi itulah Imam Mahdi as. dighaibkan. Jika kita melihat sumber terjadinya kezaliman atas Ahlul Bait as. maka kita bisa memastikan bahwa bencana dan bala itu akan terus berlangsung hingga hari kiamat.

Para pengikut Ahlul Bait di seluruh dunia dan dalam setiap jaman dan tempat pasti akan mengalaminya. Sehingga disebutkan bahwa kondisi masyarakat manusia akan menuju pada tingkat yang paling buruk yaitu ketika dunia dipenuhi dengan kezaliman dan kegelapan maksiat. Kita tidak boleh pasrah menghadapi kesulitan, tapi memang seperti itulah yang akan terjadi.
Menurut sejarah perjuangannya, kita melihat bahwa pengikut Ahlul Bait lah yang paling merasakan akibatnya. Sehingga dalam sebuah hadits Imam Husein berkata :
والله البلاء والفقر والقتل اسرع الى من احبنا من ركض البراذين ومن السيل الى صمره

“Demi Allah, sesungguhmya bala, kefakiran dan pembunuhan akan mendatangi pecinta kami lebih cepat dari sampainya air terjun yang kepermukaan air”

Mencintai berarti menyertai dalam kebahagiaan dan kesusahan. Jika cinta hanya tumbuh pada saat bahagia saja maka dapat dipastikan bahwa cinta itu tidaklah tulus. Mencari orang yang mencintai kita saat kita bergelimang harta, misalnya, akan sangat mudah tapi mencari kekasih yang bersedia berbagi dalam suka dan duka sangatlah sulit.

Kezaliman yang diterima oleh para pecinta Ahlul Bait as. merupakan kelanjutan dari kezaliman yang dilakukan umat ini kepada para Imam Ahlul Bait as. Sebagaimana kita mendapatkan banyak manfaat dan kenikmatan dengan mengikuti Ahlul Bait as., ada saatnya pula kita ikut mengalami penderitaan sebagaimana yang mereka rasakan. Pada setiap peringatan syahadah Al Husein as. kita berusaha untuk merasakan penderitaan beliau.

Beberapa bentuk manipulasi hadits akan kita sebutkan dibawah ini :

1. Membuang sebagian hadits dan menggantinya dengan kata-kata yang tidak jelas.
Sebagai contoh, apa yang disebutkan dalam tafsir Thabari : “Inilah washiku dan khalifahku” diganti dengan kalimat “wa kadza wa kadza”.

2. Membuang seluruh berita (riwayat) dengan memberikan alasan.
Muhammad bin Abu Bakar menulis kepada Muawiyah tentang keutamaan Ali bin Abi Thalib. Selengkapnya kitab itu ada dalam kitab Shifin dari Nasr bin Mazahim (wafat 212 H) dan Muruj Adz Dzahab tulisan Mas’udi (wafat 246 H). Ath Thabari (wafat 310 H) merujuk dua kitab diatas…….tapi ia membuang isi surat itu dengan alasan supaya orang banyak tidak resah mendengarnya. Ibnu Atsir dalam kitabnya Bidayah wan Nihayah melakukan hal yang sama dengan alasan yang sama.

3. Memberikan makna lain (takwil) pada hadits.
Adz Dzahabi ketika meriwayatkan biografi Nasai, menulis bahwa ketika An Nasai disuruh untuk meriwayatkan keutamaan Mu’awiyah, ia berkata : “Tidak ada hadits (tentang itu) yang dapat kusampaikan kecuali sebuah hadits dari Nabi : “Semoga Allah tidak mengenyangkan perut Muawiyah”. Kata Adz Dzahabi : “Barangkali yang dimaksud Nabi dengan keutamaan Muawiyah adalah sabda Nabi : “Ya Allah siapapun yang aku kecam dan aku laknat, jadikanlah laknat dan kecamanku itu sebagai rahmat dan kesucian baginya”.
Thabari menyebutkan bahwa Ali menjadi washi dan yang dimaksud adalah washi bagi keluarganya dan bukan menjadi khalifah untuk umat Muhammad saw.

4. Membuang hadits tanpa menyebutkan alasan atau petunjuk.
Ibnu Hisyam berdasarkan pada tarikh Ibnu Ishak, “Aku tinggalkan sebagian riwayat Ibnu Ishak yang jelek jika didengar orang. Termasuk yang dibuang adalah riwayat tentang “wa andzir ‘asyiratakl aqrabin” yang dalam kitab Ibnu Ishak diriwayatkan : “Inilah saudaraku,washiku dan khalifahku untuk kalian”.
Belakangan Muhammad Husein Haikal dalam kita Hayat Muhammad cetakan pertama menyebutkan hadits itu tapi dalam cetakan kedua (1354 H) tidak menyebutkannya.
Dalam terjemahan Shahih Bukhari cetakan terakhir, judul tragedy hari kamis diganti dengan judul yang lain.

5. Melarang penulisan hadits Nabi saw. sebagaimana yang dilakukan oleh Umar bin Khatab dengan alasan akan bercampur dengan Al Quran.

6. Mendha’ifkan hadits yang mengurangi penghormatan kepada penguasa dan menguatkan posisi lawan mereka.
Ibnu Katsir mendha’ifkan riwayat Nabi tentang pengangkatan Imam Ali sebagai washi dan menganggapnya sebagai hadits yang diciptakan oleh kaum Syiah atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits. Barangkali ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari sahabt-sahabat Nabi oleh perawi-perawi besar seperti : Imam Ahmad, Thabari, Thabrani, Abu Nu’aim Al Isfahani, Ibnu Asakir dll.
Asy Sya’bi meriwayatkan hadits dari Al Harits Al Hamadani dan menyebutnya sebagai pendusta. Ibnu Abul Barr mengomentari ucapan Sya’bi ini dengan mengatakan : “Ia tidak menyebutkan alasan mengapa ia menganggap Harits berdusta. Ia membenci Harits karena kecintaannya yang besar kepada Ali as.”

Wassalam.

0 komentar:

Posting Komentar