Kamis, 11 Oktober 2012

Garis, Titik dan Lingkaran





(Ust. Rakhmat Hidayat)

Daya Pikir 
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna Ia adalah makhluk yang mendapat kehormatan dengan dibekali  fasilitas yang tidak dimiliki oleh makhluk-Nya yang lain. Akal yang  dianugerahkan kepada manusia adalah sebuah ‘kotak ajaib’ yang berisi kumpulan daya dan potensi tiada ternilai.

Diantara ‘kekuatan’ yang terkandung dalam akal adalah daya pikir dan kekuatan nalar. Kemampuan untuk mengolah daya pikir menjadikannya mampu

melampaui pencapaian makhluk-makhluk lain dalam kompetisi menuju garis kesempunaan wujud.

Bahkan kelebihan inilah yang menjadikannya lebih unggul dari para malaikat yang tidak mampu melakukan inovasi dan pengembangan terhadap sumber daya yang dimiliki akibat tidak adanya potensi tersebut.

Ujian untuk membuktikan kelayakan manusia sebagai khalifahNya pun telah dilampaui dengan sempurna disaat malaikat gagal melaluinya.

Kegagalan para malaikat terletak pada ketidakmampuan mereka  untuk berinovasi dalam menyelesaikan ujian itu. Para malaikat  hanya mampu mengatakan : ‘Ya Tuhan kami, tiada ilmu yang kami miliki selain yang pernah Kau ajarkan kepada kami…’

Walhasil, manusia dengan potensi diatas, akan mampu mencapai keunggulan ‘tiada batas’ dibanding makhluk yang lain.

Akan tetapi potensi adalah potensi. Keberhasilan pemiliknya dinilai dari buah yang berhasil dipetik dari pengembangannya.  Tergantung apakah potensi itu akan menjadi tongkat penuntun  jalan menuju kesempurnaannya atau menjadi ular berbisa yang siap menjatuhkannya ke jurang kehancuran.

Bukankah ketajaman sempurna sebuah pisau akan sangat bermanfaat sekaligus sangat  berbahaya?.  Demikian juga dengan daya pikir yang dibekalkan kepada manusia dalam sebuah ‘mesin abstrak’ yang bernama akal

Berfikir adalah fitrah insani

Berfikir, yang merupakan proses pengembangan salah satu daya dalam diri manusia, adalah sebuah nilai fitrah yang dengannya Berfikir, yang merupakan proses pengembangan salah satu daya dalam diri manusia, adalah sebuah nilai fitrah yang dengannya manusia menjalani hidupnya. Ia akan menjalani proses (berfikir) itu meski tidak seorangpun yang menyuruh atau mengajarinyanya.

Dengan kata lain, dorongan berfikir bukanlah hasil dari proses pembelajaran melainkan bibit yang tertanam dalam diri manusia yang terdalam sejak awal penciptaannya.

Dengan berfikir manusia mengembangkan diri menjadi lebih sempurna hari demi hari. Dengan daya itu ia berusaha untuk memilah dan memilih demi menghindari madharat dan mencapai manfaat. Dengan daya ini pula manusia ‘terbedakan’ dari binatang Berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa akal menyimpan  banyak daya yang diantaranya adalah daya pikir dan nalar. yang tidak pernah mengedepankan pertimbangan baik dan buruk

dalam rangka mencapai tujuan. Karena itu Al Quran menyebut orang yang tidak mau berfikir sebagai binatang atau lebih rendah dan hina dari binatang.

Pola ideal dalam berfikir

Permasalahan muncul disaat kita menemukan sebuah hakikat  bahwa di sisi lain Allah juga menyiapkan sebuah daya yang juga memiliki kekuatan yang dahsyat. 

Daya itu yang sering disebut dengan al hawa atau dalam bahasa awam kita akrab menyebutnya hawa nafsu.

Jika daya berfikir mendorong kita untuk mengedepankan perhitungan madharat dan manfaat maka al hawa adalah ibarat bola yang menggelinding deras hampir tak terbendung membawa segudang keinginan dan hasrat yang menuntut pemenuhan segera, dalam kadar yang banyak dan intensitas terus menerus.

Menilik dari karakternya maka al hawa merupakan mesin pendorong bagi gerak manusia untuk menjadi makhluk berkembang dengan memacunya dalam proses pemenuhan kebutuhan dan hasrat. Dengan kata lain, al hawa adalah kekuatan dahsyat yang memberikan manfaat bagi manusia yaitu meningkatkan produktivitas kehidupan. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan daya itu manusia  menemukan banyak tekhnologi yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi hidupnya.

Akan tetapi ada satu hal yang harus diingat yaitu bahwa hasrat al hawa akan menggelinding bagaikan ‘bola salju’, semakin jauh menggelinding maka ukurannya akan semakin besar, semakin dipenuhi akan semakin rakus dan haus.

Dengan ciri-ciri diatas, tidak menutup kemungkinan bahwa al hawa akan menjadi dominan dan menggilas daya-daya manusia yang lain. Dominasinya akan menjadikan manusia rakus dalam pemenuhan hasratnya tanpa mengenal pertimbangan madharat atau manfaat. Hal ini akan melemahkan daya-daya yang lain termasuk daya pikir manusia yang merupakan salah satu kekuatan kerajaan akal.

Jika hal itu terjadi maka dorongan fitrah tidak lagi menemukan jalur yang seharusnya dilalui di alam ikhtiyar ini. Gaungnya telah diredam oleh gemuruh gerakan bola salju al hawa yang teramat besar.

Imam Ali menggambarkan kondisi ini dengan mengatakan : “Betapa banyak akal yang diperbudak oleh al hawa yang bercokol sebagai raja”

Al Hawa bukanlah sesuatu yang bernilai negatif bahkan ia adalah salah satu kekuatan yang dibutuhkan manusia untuk menuju kepada kesempurnaan.

Apa yang harus kita lakukan agar Al Hawa memberikan manfaat sebagaimana yang menjadi tujuan penciptannya?.Imam Ja’far Shadiq as. berkata: “Jangan biarkan diri kamu hanya bersama al hawa karena ia akan menghancurkanmu…!”

Riwayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa harus ada kekuatan yang lain yang berjalan bersama al hawa sehingga kecepatan gerakannya dapat diarahkan menuju jalan kesempurnaan. Diantara kekuatan yang harus menyertai luncurannya adalah kekuatan kerajaan akal Jika akal mampu melakukan perannya dengan baik maka ia akan mengarahkan al hawa menuju nilai-nilai konstruktif bagi kehidupan manusia. Saat itu manusia menjadi anak panah yang melesat dengan kecepatan tinggi, dengan akurasi maksimal dan menancap kuat pada tujuan penciptaannya .

Tanpa akal, manusia tak ubahnya seperti binatang dan tanpa al hawa manusia tidak akan pernah berkembang dan berjuang mencapai tujuan.

Amirulmukminin as. berkata : “Sesungguhnya Allah menyusun malaikat dengan akal tanpa syahwat, menyusun binatang dengan syahwat tanpa akal dan Dia menyusun manusia dengan keduanya. Barangsiapa yang akalnya lebih dominan dari syahwatnya maka ia lebih tinggi dari para malaikat tapi jika syahwat mengalahkan akalnya maka ia lebih hina dari binatang…!”

Kolaborasi ideal antara keduanya merupakan kekuatan dahsyat  yang menjamin progresivitas manusia menuju keagungan nilai-nila fadhilah.

Pola-pola berfikir



Kita telah sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa kombinasi yang proporsional antara akal dan al hawa adalah kekuatan menuju kesempurnaan. Hal itu berarti bahwa kombinasi dengan porsi yang tidak seharusnya akan menciptakan ketimpangan dan ketidakseimbangan pada diri manusia yang akan mempersulit jalan menuju tujuan.

Interaksi saling mempengaruhi antara akal dan al hawa akan  memberikan pengaruh yang besar dalam menentukan cara berfikir manusia. Perbandingan prosentase porsi antara masing-masing dari keduanya akan menciptakan sebuah pola yang dengannya manusia menyikapi setiap masalah yang dihadapi.

Dengan sedikit kejelian, kita bisa saksikan cara berfikir yang  beragam telah terjadi di kalangan masyarakat. Dengan begitu kita akan menemukan terciptanya beberapa pola dalam berfikir yang  bisa kita jadikan acuan dalam membuat pengelompokan.

Setidaknya ada tiga pola berpikir yang berkembang dalam masyarakat  :

1. Pola titik

Adalah sebuah pola berfikir dimana manusia tidak pernah beranjak dari dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan hanyalah untuk sebuah titik yaitu dirinya sendiri. Ia tidak pernah beranjak ke titik yang lain. Pola seperti ini menghasilkan karakter egois, mementingkan diri dan tidak perduli dengan selain dirinya.Ia tidak akan pernah mengeluarkan hartanya untuk membantu orang lain karena, baginya, perbuatan itu tidak memberikan manfaat bagi dirinya. Bahkan ia akan tega menghancurkan selainnya demi kebahagiaan diri.

2. Pola Garis

Dengan pola ini manusia telah melangkah dari satu titik ke titik yang lain. Ia mulai melihat ada sesuatu di luar dirinya yang harus mendapatkan perhatian. Ia mulai mengulurkan tangannya demi membantu selainnya.

Ia melihat bahwa dengan membantu seseorang ia akan meringankan beban orang yang ia bantu. Ia mulai mempertimbangkan hubungan antara kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain. Ia akan rela merogoh koceknya demi membantu kaum papa dan tidak berdaya.

Ia telah rela berpindah dari titik dirinya menuju titik selainnya. Ia pun memberikan manfaatnya kepada selainnya.

3. Pola lingkaran

Dengan pola ini manusia melakukan gerakan lebih dari gerakan dari satu titik ke yang lain hingga membentuk sebuah garis. Lebih dari itu, ia melanjutkan gerakan itu dengan mengembalikannya pada dirinya.

Pada pola garis, seseorang memberikan santunan kepada orang lain yang membutuhkan untuk membantunya. Dengan itu hartanya berpindah dari tangannya ke tangan orang lain sehingga orang lain mendapatkan manfaat darinya.

Pada pola lingkaran, seseorang memberikan bantuan kepada orang lain bukan demi orang lain akan tetapi demi dirinya sendiri.  Ia mendapatkan kebahagian dari senyum kaum miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia dirinya dengan membahagiakan orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi sarana untuk membahagiakan dirinya.

Pola pikir lingkaran ini adalah pola ideal yang diajarkan oleh Al Quran dalam banyak ayat. Diantara ayat-ayat itu adalah :

 “…Barangsiapa yang kikir sesungguhnya ia kikir kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah maha kaya sedangkan kalian adalah fakir…”

“Barangsiapa yang beramal baik maka itu untuk dirinya dan barangsiapa beramal jahat maka kejahatan itu akan menimpanya”

.…dan berinfaqlah, sesungguhnya kebaikannya bagi kamu. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk  golongan beruntung.

…dan mereka melakukan itsar (mendahulukan kepentingan  selain dirinya meski ia dalam kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk golongan beruntung

Al Quran sering mengulang kata ‘khairun lakum’ (lebih baik bagi diri kamu)  yang mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at diturunkan demi kebaikan manusia.

Seseorang yang berpola lingkaran dalam berfikir akan mendapati dirinya senantiasa berada dalam kebahagiaan. Bahkan saat memberi ia tidak memikirkan apakah dirinya berada dalam keadaan ‘lapang’ maupun ‘sempit’.

Semua yang ia lakukan menghasilkan kebahagiaan bagi dirinya karena semua dilakukan dengan cinta dan keikhlasan kepada Allah yang telah menganugerahi kenikmatan ini. Sebagaimana diabadikan dalam Al Quran :

 “..karena kecintaan kepada-Nya, mereka menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak yatim, ibnu sabil, peminta-minta……”

“…karena kecintaan kepada-Nya, mereka memberikan makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan…”

Pada tingkat pemikiran seperti ini, seseorang tidak lagi mendambakan balasan dari penerima bantuan bahkan ucapan terima kasihpun tidak ia harapkan : “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena cinta kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah mengharap balasan bahkan (sekedar) ucapan terima kasih…”

Ahlul Bait as. dan sifat itsar

Dari cara berfikir seperti diatas akan tumbuh sifat itsar (mendahulukan kepentingan selain diri sendiri). Seseorang akan selalu peduli dengan nasib orang lain dan selanjutnya akan rela berkorban untuknya. Sifat itsar sudah menjadi barang langka terutama dalam kehidupan yang sangat materialis seperti sekarang ini. Kilau duniawi yang penuh dengan permainan dan tipu daya menjadikan manusia yang lalai lebih memilih memenuhi syahwat pribadi secara maksimal meski untuk tujuan itu ia harus mengorbankan orang lain.

Karena itu para Imam Ahlul Bait as. sebagai pelanjut risalah Nabi saw. senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur dalam hidup manusia yang dengannya manusia layak disebut manusia. Salah satu nilai agung itu adalah itsar. 

Allah berfirman : “Sesungguhnya orang- orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas ( berisi minuman ) yang campurannya adalah air kafur. ) yaitu) mata air ( dalam surga )yang daripadanya hamba- hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut  akan suatu hari yang azabnya merata di mana- mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah,

kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ( ucapan ) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan(azab ) Tuhan kami

pada suatu hari yang (di hari itu) orang- orang bermuka masam penuh kesulitan”

Terdapat banyak kitab yang memaparkan riwayat sebab turunnya ayat-ayat di atas. Allamah Amini dalam kitabnya AlGadir, menukil sebuah riwayat dari 34 kitab ulama Ahli sunah, sedang Marhum Qadhi Nurullah Syusytari menyatakan riwayat  itu dapat dijumpai dalam 36 kitab mereka. Oleh karena itu, riwayat yang menceritakan sebab turunnya ayat-ayat ini adalah mutawatir. Riwayat tersebut demikian:



Pada waktu kecilnya, Imam Hasan dan Imam Husain a.s. menderita sakit, Rasulullah akhirnya datang ke rumah Ali dan Fatimah untuk menjenguk kedua cucunya yang sakit tersebut. Saat melihat kedua buah hatinya, Rasul bersabda kepada Imam Ali a.s.:  nazarlah, supaya Allah menghilangkan penyakit mereka!”

Setelah mendengar itu, Ali a.s. langsung berkata: Ya Allah jika kedua anakku ini sembuh maka aku akan berpuasa selama tiga hari. Fatimah juga bernazar demikian; bahkan Imam Hasan Dan Imam Husain –kendati usia mereka masih kecil- melakukan hal yang sama yaitu mengikuti orang tua mereka berpuasa selama tiga hari.  Fidhah, pembantu rumah mulia itu kemungkinan besar bernazar hal yang sama.

Tak lama kemudian penyakit dua buah hati Rasul tersebut hilang, dan tiba saatnya bagi mereka untuk melaksanakan nazar. Pada hari pertama, Ali a.s. telah menyiapkan tepung jo (sejenis gandum; kwalitasnya lebih rendah dari gandum) untuk buka puasa selama tiga hari tersebut dan tepung tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian darinya diperuntukkan untuk membuat roti sebagai santapan buka puasa pada hari pertama. Saat hendak

berbuka, terdengar suara ketukan pintu, penghuni rumah menuju pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang berada di balik pintu. Ternyata di situ sudah berdiri seseorang yang berkata: Salam atasmu wahai Ahlul bait. Kemudian dia berkata, aku adalah orang msikin dan butuh bantuan, maka bantulah diriku!

 Imam Ali  a.s. memberikan rotinya kepada si miskin, Fatimah juga melakukannya; bahkan semua anggota keluarga yang lain juga menyedekahkan jatah buka puasanya yang tak lain sepotong roti kepada orang miskin yang datang. Dan pada hari itu mereka berbuka dengan air putih saja.

Hari berikutnya mereka juga berpuasa dan dengan sepertiga tepung tadi mereka siap berbuka, akan tetapi terdengar suara dari luar rumah yang berkata:” Salam atasmu wahai Ahlul bait. Merekapun keluar dan bertanya: siapakah anda dan apa keperluanmu? Dia menjawab, saya salah seorang anak yatim di kota ini, aku lapar tolong berikan aku makanan untuk mengisi peutku yang kosong ini. Kembali Ali a.s. memberikan jatah buka puasanya kepada yatim itu dan anggota keluarga yang lain juga dengan penuh keikhlasan mengikuti beliau. Dengan demikian malam kedua sama seperti

malam pertama, buka puasa mereka dengan air putih saja.

Pada hari ketiga sesuai nazar, mereka menyempurnakan puasa mereka dan sebagaimana hari pertama dan kedua kisah itu terulang lagi. Kali ini seorang tawanan yang datang dan meminta bantuan dari keluarga suci ini, lagi-lagi seluruh keluarga ini memberikan jatah buka puasa mereka kepadanya dan untuk ketiga kalinya mereka berbuka dengan air saja. Dan akhirnya nazar itu terbayar juga.

Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw sangat sedih melihat imam Hasan dan imam Husain dalam keadaan lemas yang akibatnya badan mereka bergetar. Di sisi lain, mata sayidah Fatimah cekung. Beliau bertanya kepada Ali: wahai Ali, kenapa anak-anak begitu lemah seperti ini dan kenapa raut muka putriku memudar? Imam Ali a.s. menuturkan kisah yang telah mereka alami dan pada saat itu malaikat Jibril datang dengan membawa ayat-ayat surah Al-Insan ini.








0 komentar:

Posting Komentar