Garis, Titik dan Lingkaran
Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna
Ia adalah makhluk yang mendapat kehormatan dengan dibekali fasilitas yang tidak dimiliki oleh
makhluk-Nya yang lain. Akal yang
dianugerahkan kepada manusia adalah sebuah ‘kotak ajaib’ yang berisi
kumpulan daya dan potensi tiada ternilai.
Diantara ‘kekuatan’ yang terkandung dalam akal
adalah daya pikir dan kekuatan nalar. Kemampuan untuk mengolah daya pikir
menjadikannya mampu
melampaui pencapaian makhluk-makhluk lain dalam
kompetisi menuju garis kesempunaan wujud.
Bahkan kelebihan inilah yang menjadikannya lebih
unggul dari para malaikat yang tidak mampu melakukan inovasi dan pengembangan
terhadap sumber daya yang dimiliki akibat tidak adanya potensi tersebut.
Ujian untuk membuktikan kelayakan manusia sebagai
khalifahNya pun telah dilampaui dengan sempurna disaat malaikat gagal
melaluinya.
Kegagalan para malaikat terletak pada
ketidakmampuan mereka untuk berinovasi
dalam menyelesaikan ujian itu. Para malaikat
hanya mampu mengatakan : ‘Ya Tuhan kami, tiada ilmu yang kami miliki
selain yang pernah Kau ajarkan kepada kami…’
Walhasil, manusia dengan potensi diatas, akan mampu
mencapai keunggulan ‘tiada batas’ dibanding makhluk yang lain.
Akan tetapi potensi adalah potensi. Keberhasilan
pemiliknya dinilai dari buah yang berhasil dipetik dari pengembangannya. Tergantung apakah potensi itu akan menjadi
tongkat penuntun jalan menuju
kesempurnaannya atau menjadi ular berbisa yang siap menjatuhkannya ke jurang
kehancuran.
Bukankah ketajaman sempurna sebuah pisau akan
sangat bermanfaat sekaligus sangat
berbahaya?. Demikian juga dengan
daya pikir yang dibekalkan kepada manusia dalam sebuah ‘mesin abstrak’ yang
bernama akal
Berfikir adalah fitrah insani
Berfikir, yang merupakan proses pengembangan salah
satu daya dalam diri manusia, adalah sebuah nilai fitrah yang dengannya
Berfikir, yang merupakan proses pengembangan salah satu daya dalam diri
manusia, adalah sebuah nilai fitrah yang dengannya manusia menjalani hidupnya.
Ia akan menjalani proses (berfikir) itu meski tidak seorangpun yang menyuruh
atau mengajarinyanya.
Dengan kata lain, dorongan berfikir bukanlah hasil
dari proses pembelajaran melainkan bibit yang tertanam dalam diri manusia yang
terdalam sejak awal penciptaannya.
Dengan berfikir manusia mengembangkan diri menjadi
lebih sempurna hari demi hari. Dengan daya itu ia berusaha untuk memilah dan
memilih demi menghindari madharat dan mencapai manfaat. Dengan daya ini pula
manusia ‘terbedakan’ dari binatang Berdasarkan pendapat yang mengatakan bahwa
akal menyimpan banyak daya yang
diantaranya adalah daya pikir dan nalar. yang tidak pernah mengedepankan
pertimbangan baik dan buruk
dalam rangka mencapai tujuan. Karena itu Al Quran
menyebut orang yang tidak mau berfikir sebagai binatang atau lebih rendah dan
hina dari binatang.
Pola ideal dalam berfikir
Permasalahan muncul disaat kita menemukan sebuah
hakikat bahwa di sisi lain Allah juga
menyiapkan sebuah daya yang juga memiliki kekuatan yang dahsyat.
Daya itu yang sering disebut dengan al hawa atau
dalam bahasa awam kita akrab menyebutnya hawa nafsu.
Jika daya berfikir mendorong kita untuk
mengedepankan perhitungan madharat dan manfaat maka al hawa adalah ibarat bola
yang menggelinding deras hampir tak terbendung membawa segudang keinginan dan
hasrat yang menuntut pemenuhan segera, dalam kadar yang banyak dan intensitas
terus menerus.
Menilik dari karakternya maka al hawa merupakan
mesin pendorong bagi gerak manusia untuk menjadi makhluk berkembang dengan
memacunya dalam proses pemenuhan kebutuhan dan hasrat. Dengan kata lain, al
hawa adalah kekuatan dahsyat yang memberikan manfaat bagi manusia yaitu
meningkatkan produktivitas kehidupan. Sejarah telah membuktikan bahwa dengan
daya itu manusia menemukan banyak
tekhnologi yang memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi hidupnya.
Akan tetapi ada satu hal yang harus diingat yaitu
bahwa hasrat al hawa akan menggelinding bagaikan ‘bola salju’, semakin jauh
menggelinding maka ukurannya akan semakin besar, semakin dipenuhi akan semakin
rakus dan haus.
Dengan ciri-ciri diatas, tidak menutup kemungkinan
bahwa al hawa akan menjadi dominan dan menggilas daya-daya manusia yang lain.
Dominasinya akan menjadikan manusia rakus dalam pemenuhan hasratnya tanpa
mengenal pertimbangan madharat atau manfaat. Hal ini akan melemahkan daya-daya
yang lain termasuk daya pikir manusia yang merupakan salah satu kekuatan
kerajaan akal.
Jika hal itu terjadi maka dorongan fitrah tidak
lagi menemukan jalur yang seharusnya dilalui di alam ikhtiyar ini. Gaungnya
telah diredam oleh gemuruh gerakan bola salju al hawa yang teramat besar.
Imam Ali menggambarkan kondisi ini dengan
mengatakan : “Betapa banyak akal yang diperbudak oleh al hawa yang bercokol
sebagai raja”
Al Hawa bukanlah sesuatu yang bernilai negatif
bahkan ia adalah salah satu kekuatan yang dibutuhkan manusia untuk menuju
kepada kesempurnaan.
Apa yang harus kita lakukan agar Al Hawa memberikan
manfaat sebagaimana yang menjadi tujuan penciptannya?.Imam Ja’far Shadiq as.
berkata: “Jangan biarkan diri kamu hanya bersama al hawa karena ia akan
menghancurkanmu…!”
Riwayat diatas menjelaskan kepada kita bahwa harus
ada kekuatan yang lain yang berjalan bersama al hawa sehingga kecepatan
gerakannya dapat diarahkan menuju jalan kesempurnaan. Diantara kekuatan yang
harus menyertai luncurannya adalah kekuatan kerajaan akal Jika akal mampu
melakukan perannya dengan baik maka ia akan mengarahkan al hawa menuju
nilai-nilai konstruktif bagi kehidupan manusia. Saat itu manusia menjadi anak
panah yang melesat dengan kecepatan tinggi, dengan akurasi maksimal dan
menancap kuat pada tujuan penciptaannya .
Tanpa akal, manusia tak ubahnya seperti binatang
dan tanpa al hawa manusia tidak akan pernah berkembang dan berjuang mencapai
tujuan.
Amirulmukminin as. berkata : “Sesungguhnya Allah
menyusun malaikat dengan akal tanpa syahwat, menyusun binatang dengan syahwat
tanpa akal dan Dia menyusun manusia dengan keduanya. Barangsiapa yang akalnya
lebih dominan dari syahwatnya maka ia lebih tinggi dari para malaikat tapi jika
syahwat mengalahkan akalnya maka ia lebih hina dari binatang…!”
Kolaborasi ideal antara keduanya merupakan kekuatan
dahsyat yang menjamin progresivitas
manusia menuju keagungan nilai-nila fadhilah.
Pola-pola berfikir
Kita telah sampai kepada sebuah kesimpulan bahwa
kombinasi yang proporsional antara akal dan al hawa adalah kekuatan menuju
kesempurnaan. Hal itu berarti bahwa kombinasi dengan porsi yang tidak
seharusnya akan menciptakan ketimpangan dan ketidakseimbangan pada diri manusia
yang akan mempersulit jalan menuju tujuan.
Interaksi saling mempengaruhi antara akal dan al
hawa akan memberikan pengaruh yang besar
dalam menentukan cara berfikir manusia. Perbandingan prosentase porsi antara
masing-masing dari keduanya akan menciptakan sebuah pola yang dengannya manusia
menyikapi setiap masalah yang dihadapi.
Dengan sedikit kejelian, kita bisa saksikan cara berfikir
yang beragam telah terjadi di kalangan
masyarakat. Dengan begitu kita akan menemukan terciptanya beberapa pola dalam
berfikir yang bisa kita jadikan acuan
dalam membuat pengelompokan.
Setidaknya ada tiga pola berpikir yang berkembang
dalam masyarakat :
1. Pola titik
Adalah sebuah pola berfikir dimana manusia tidak
pernah beranjak dari dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan hanyalah untuk sebuah
titik yaitu dirinya sendiri. Ia tidak pernah beranjak ke titik yang lain. Pola
seperti ini menghasilkan karakter egois, mementingkan diri dan tidak perduli
dengan selain dirinya.Ia tidak akan pernah mengeluarkan hartanya untuk membantu
orang lain karena, baginya, perbuatan itu tidak memberikan manfaat bagi
dirinya. Bahkan ia akan tega menghancurkan selainnya demi kebahagiaan diri.
2. Pola Garis
Dengan pola ini manusia telah melangkah dari satu
titik ke titik yang lain. Ia mulai melihat ada sesuatu di luar dirinya yang
harus mendapatkan perhatian. Ia mulai mengulurkan tangannya demi membantu
selainnya.
Ia melihat bahwa dengan membantu seseorang ia akan
meringankan beban orang yang ia bantu. Ia mulai mempertimbangkan hubungan
antara kebutuhannya dengan kebutuhan orang lain. Ia akan rela merogoh koceknya
demi membantu kaum papa dan tidak berdaya.
Ia telah rela berpindah dari titik dirinya menuju
titik selainnya. Ia pun memberikan manfaatnya kepada selainnya.
3. Pola lingkaran
Dengan pola ini manusia melakukan gerakan lebih
dari gerakan dari satu titik ke yang lain hingga membentuk sebuah garis. Lebih
dari itu, ia melanjutkan gerakan itu dengan mengembalikannya pada dirinya.
Pada pola garis, seseorang memberikan santunan
kepada orang lain yang membutuhkan untuk membantunya. Dengan itu hartanya
berpindah dari tangannya ke tangan orang lain sehingga orang lain mendapatkan
manfaat darinya.
Pada pola lingkaran, seseorang memberikan bantuan
kepada orang lain bukan demi orang lain akan tetapi demi dirinya sendiri. Ia mendapatkan kebahagian dari senyum kaum
miskin yang merasa terbantu. Ia mengejar bahagia dirinya dengan membahagiakan
orang lain. Kini kebahagiaan orang lain menjadi sarana untuk membahagiakan
dirinya.
Pola pikir lingkaran ini adalah pola ideal yang
diajarkan oleh Al Quran dalam banyak ayat. Diantara ayat-ayat itu adalah :
“…Barangsiapa yang kikir sesungguhnya ia kikir
kepada diri sendiri. Sesungguhnya Allah maha kaya sedangkan kalian adalah
fakir…”
“Barangsiapa yang beramal baik maka itu untuk
dirinya dan barangsiapa beramal jahat maka kejahatan itu akan menimpanya”
.…dan berinfaqlah, sesungguhnya kebaikannya bagi
kamu. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia termasuk golongan beruntung.
…dan mereka melakukan itsar (mendahulukan
kepentingan selain dirinya meski ia
dalam kesulitan. Barangsiapa yang terhindari dari sifat kikirnya maka ia
termasuk golongan beruntung
Al Quran sering mengulang kata ‘khairun lakum’
(lebih baik bagi diri kamu) yang
mengajarkan kita kepada hakikat bahwa syari’at diturunkan demi kebaikan
manusia.
Seseorang yang berpola lingkaran dalam berfikir
akan mendapati dirinya senantiasa berada dalam kebahagiaan. Bahkan saat memberi
ia tidak memikirkan apakah dirinya berada dalam keadaan ‘lapang’ maupun
‘sempit’.
Semua yang ia lakukan menghasilkan kebahagiaan bagi
dirinya karena semua dilakukan dengan cinta dan keikhlasan kepada Allah yang
telah menganugerahi kenikmatan ini. Sebagaimana diabadikan dalam Al Quran :
“..karena
kecintaan kepada-Nya, mereka menafkahkan harta kepada kaum miskin, anak yatim,
ibnu sabil, peminta-minta……”
“…karena kecintaan kepada-Nya, mereka memberikan
makanan kepada orang miskin, anak yatim dan tawanan…”
Pada tingkat pemikiran seperti ini, seseorang tidak
lagi mendambakan balasan dari penerima bantuan bahkan ucapan terima kasihpun
tidak ia harapkan : “Sesungguhnya kami memberikan makanan kepada kalian karena
cinta kami kepada-Nya sehingga kami tidak pernah mengharap balasan bahkan
(sekedar) ucapan terima kasih…”
Ahlul Bait as. dan sifat itsar
Dari cara berfikir seperti diatas akan tumbuh sifat
itsar (mendahulukan kepentingan selain diri sendiri). Seseorang akan selalu
peduli dengan nasib orang lain dan selanjutnya akan rela berkorban untuknya.
Sifat itsar sudah menjadi barang langka terutama dalam kehidupan yang sangat
materialis seperti sekarang ini. Kilau duniawi yang penuh dengan permainan dan
tipu daya menjadikan manusia yang lalai lebih memilih memenuhi syahwat pribadi
secara maksimal meski untuk tujuan itu ia harus mengorbankan orang lain.
Karena itu para Imam Ahlul Bait as. sebagai
pelanjut risalah Nabi saw. senantiasa mengajarkan nilai-nilai luhur dalam hidup
manusia yang dengannya manusia layak disebut manusia. Salah satu nilai agung
itu adalah itsar.
Allah berfirman : “Sesungguhnya orang- orang yang
berbuat kebajikan minum dari gelas ( berisi minuman ) yang campurannya adalah
air kafur. ) yaitu) mata air ( dalam surga )yang daripadanya hamba- hamba Allah
minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya. Mereka
menunaikan nazar dan takut akan suatu
hari yang azabnya merata di mana- mana. Dan mereka memberikan makanan yang
disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya
Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah,
kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak
pula ( ucapan ) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan(azab ) Tuhan kami
pada suatu hari yang (di hari itu) orang- orang
bermuka masam penuh kesulitan”
Terdapat banyak kitab yang memaparkan riwayat sebab
turunnya ayat-ayat di atas. Allamah Amini dalam kitabnya AlGadir, menukil
sebuah riwayat dari 34 kitab ulama Ahli sunah, sedang Marhum Qadhi Nurullah
Syusytari menyatakan riwayat itu dapat dijumpai
dalam 36 kitab mereka. Oleh karena itu, riwayat yang menceritakan sebab
turunnya ayat-ayat ini adalah mutawatir. Riwayat tersebut demikian:
Pada waktu kecilnya, Imam Hasan dan Imam Husain
a.s. menderita sakit, Rasulullah akhirnya datang ke rumah Ali dan Fatimah untuk
menjenguk kedua cucunya yang sakit tersebut. Saat melihat kedua buah hatinya,
Rasul bersabda kepada Imam Ali a.s.:
nazarlah, supaya Allah menghilangkan penyakit mereka!”
Setelah mendengar itu, Ali a.s. langsung berkata:
Ya Allah jika kedua anakku ini sembuh maka aku akan berpuasa selama tiga hari.
Fatimah juga bernazar demikian; bahkan Imam Hasan Dan Imam Husain –kendati usia
mereka masih kecil- melakukan hal yang sama yaitu mengikuti orang tua mereka
berpuasa selama tiga hari. Fidhah,
pembantu rumah mulia itu kemungkinan besar bernazar hal yang sama.
Tak lama kemudian penyakit dua buah hati Rasul
tersebut hilang, dan tiba saatnya bagi mereka untuk melaksanakan nazar. Pada
hari pertama, Ali a.s. telah menyiapkan tepung jo (sejenis gandum; kwalitasnya
lebih rendah dari gandum) untuk buka puasa selama tiga hari tersebut dan tepung
tersebut dibagi menjadi tiga bagian. Satu bagian darinya diperuntukkan untuk
membuat roti sebagai santapan buka puasa pada hari pertama. Saat hendak
berbuka, terdengar suara ketukan pintu, penghuni
rumah menuju pintu untuk mengetahui siapa gerangan yang berada di balik pintu.
Ternyata di situ sudah berdiri seseorang yang berkata: Salam atasmu wahai Ahlul
bait. Kemudian dia berkata, aku adalah orang msikin dan butuh bantuan, maka
bantulah diriku!
Imam
Ali a.s. memberikan rotinya kepada si
miskin, Fatimah juga melakukannya; bahkan semua anggota keluarga yang lain juga
menyedekahkan jatah buka puasanya yang tak lain sepotong roti kepada orang
miskin yang datang. Dan pada hari itu mereka berbuka dengan air putih saja.
Hari berikutnya mereka juga berpuasa dan dengan
sepertiga tepung tadi mereka siap berbuka, akan tetapi terdengar suara dari
luar rumah yang berkata:” Salam atasmu wahai Ahlul bait. Merekapun keluar dan
bertanya: siapakah anda dan apa keperluanmu? Dia menjawab, saya salah seorang
anak yatim di kota ini, aku lapar tolong berikan aku makanan untuk mengisi
peutku yang kosong ini. Kembali Ali a.s. memberikan jatah buka puasanya kepada
yatim itu dan anggota keluarga yang lain juga dengan penuh keikhlasan mengikuti
beliau. Dengan demikian malam kedua sama seperti
malam pertama, buka puasa mereka dengan air putih
saja.
Pada hari ketiga sesuai nazar, mereka
menyempurnakan puasa mereka dan sebagaimana hari pertama dan kedua kisah itu
terulang lagi. Kali ini seorang tawanan yang datang dan meminta bantuan dari
keluarga suci ini, lagi-lagi seluruh keluarga ini memberikan jatah buka puasa
mereka kepadanya dan untuk ketiga kalinya mereka berbuka dengan air saja. Dan
akhirnya nazar itu terbayar juga.
Pada hari berikutnya, Rasulullah Saw sangat sedih
melihat imam Hasan dan imam Husain dalam keadaan lemas yang akibatnya badan
mereka bergetar. Di sisi lain, mata sayidah Fatimah cekung. Beliau bertanya
kepada Ali: wahai Ali, kenapa anak-anak begitu lemah seperti ini dan kenapa
raut muka putriku memudar? Imam Ali a.s. menuturkan kisah yang telah mereka
alami dan pada saat itu malaikat Jibril datang dengan membawa ayat-ayat surah
Al-Insan ini.
0 komentar:
Posting Komentar