Kamis, 11 Oktober 2012

Hati...maafkan ke'jaim'anku...!





Tidak tahu kenapa, hari ini Sastro tampak (seperti) merenung. Padahal ia pernah punya teori bahwa putar otak adalah dominasi orang bijak dan cerdik pandai . Ia melihat para santri adalah bukan para pemikir tapi penurut. Menurut secara mutlak pada fatwa para kyai pengganti Nabi dan aturan pesantren yang mewakili aturan samawi yang tidak boleh diganggu gugat. Pokoknya…kun fa yakuun (nggak nyambung ya…)

Tiba-tiba, dalam kekosongan pikirannya yang memang nggak pernah buat mikir sehingga masih orosinil itu, datang seorang laki-laki mendekatinya.

Tingkah laku dan gerak-geriknya begitu mencerminkan kesopanan dan keindahan etika. Tutur katanya manis bak madu suaranya halus bagai buluh perindu…. (Oalah…Sastro..Sastro…! Stress kok berlarut-larut…eling kamu itu santri dan salah satu teorimu mengatakan bahwa puisi itu milik hamba dunia dan penuh tipu daya…!)
Sastro tidak mampu menahan rasa takjub akan keindahan segenap sisi makhluk yang ada di hadapannya itu. Hampir saja Sastro mengira bahwa laki-laki tersebut adalah seorang malaikat. Beberapa saat Sastro sempat merasa sok penting sampai-sampai Allah berkenan mengirimkan untuknya seorang malaikat.
Tapi… mawas diri dan rasa ‘ngrumangsani’ menjadikannya terhentak sadar bahwa ia terlalu suci untuk dikunjungi seorang malaikat Tuhan.
Dengan bahasa yang tertata dan tersusun rapi serta intonasi yang vibranya mampu menggetarkan jiwa dan meluluhkan hati, laki-laki itu berkata:
Wahai saudaraku, apa yang sedang kau pikirkan?”
Dengan desahan bak seorang pemikir umat Sastro berkata: “Aku bingung saat melihat seorang manusia yang merasa berharta yang membagikan sedekah kepada fakir dan miskin dengan membiarkan mereka berdesakan dan berhimpitan bahkan terjepit di sela terali besi. Jeritan para ibu dan tangisan para balita seakan me’nyemarak’an pesta kaum papa itu. Terakhir aku mendengar berita ada yang mati di kerumunan itu.”. Saat mengucapkan bagian terakhir dari curhatnya itu terlihar wajah Sastro yang serius dan tegang. Nampaknya ia benar-benar merasakan kepedihan keluarga yang ditinggalkan korban.
Apakah manusia mulai berani memposisikan dirinya pada derajat penghambaan orang lain kepadanya?” kata Sastro tiba-tiba.
Kini laki-laki itu yang terkejut mendengar pertanyaannya yang ‘nyelonong’ dari mulut lugu seorang Sastro. Keterkejutan itu ditutupi dengan pertanyaan: “Apakah maksudmu ada manusia yang memposisikan diri sebagai Tuhan seperti Fir’aun…?”, dengan sigap dan secepat kilat Sastro segera memeotong ucapan laki-laki itu : “Bukan aku lho yang ngomong…, mas sendiri yang membuat kesimpulannya. Aku nggak ikut-ikut kalau terjadi apa-apa karena mas sudah menyinggung masalah ketuhanannya Gusti Allah”.
Sastro memang istiqamah dalam meyakini bahwa Tuhan itu nggak boleh dibahas karena hanya makhluk yang boleh dipelajari. Salah seorang kyai pernah mengatakan : “Jangan memikirkan dzat-Nya dan pikirkanlah tentang makhluk-Nya…”.
Tapi hati kecil Sastro yang murni (he..he..he) membenarkan kesimpulan itu dan merasakan bahwa seperti itulah yang terjadi.
Sastro menunduk layu seraya mendesah : “Susah betul jadi orang yang jujur kepada pada hati…”
Wallahu a’lam…hanya Allah yang tahu… Juga hati nurani Sastro sendiri

(Rakhmat Hidayat)

0 komentar:

Posting Komentar