Hati...maafkan ke'jaim'anku...!
Tidak tahu
kenapa, hari ini Sastro tampak (seperti) merenung. Padahal ia pernah punya
teori bahwa putar otak adalah dominasi orang bijak dan cerdik pandai . Ia
melihat para santri adalah bukan para pemikir tapi penurut. Menurut secara
mutlak pada fatwa para kyai pengganti Nabi dan aturan pesantren yang mewakili
aturan samawi yang tidak boleh diganggu gugat. Pokoknya…kun fa yakuun
(nggak nyambung ya…)
Tiba-tiba,
dalam kekosongan pikirannya yang memang nggak pernah buat mikir sehingga masih
orosinil itu, datang seorang laki-laki mendekatinya.
Tingkah laku
dan gerak-geriknya begitu mencerminkan kesopanan dan keindahan etika. Tutur
katanya manis bak madu suaranya halus bagai buluh perindu….
(Oalah…Sastro..Sastro…! Stress kok berlarut-larut…eling kamu itu santri dan
salah satu teorimu mengatakan bahwa puisi itu milik hamba dunia dan penuh tipu
daya…!)
Sastro tidak
mampu menahan rasa takjub akan keindahan segenap sisi makhluk yang ada di
hadapannya itu. Hampir saja Sastro mengira bahwa laki-laki tersebut adalah
seorang malaikat. Beberapa saat Sastro sempat merasa sok penting sampai-sampai
Allah berkenan mengirimkan untuknya seorang malaikat.
Tapi… mawas
diri dan rasa ‘ngrumangsani’ menjadikannya terhentak sadar bahwa ia terlalu
suci untuk dikunjungi seorang malaikat Tuhan.
Dengan
bahasa yang tertata dan tersusun rapi serta intonasi yang vibranya mampu
menggetarkan jiwa dan meluluhkan hati, laki-laki itu berkata:
“Wahai
saudaraku, apa yang sedang kau pikirkan?”
Dengan
desahan bak seorang pemikir umat Sastro berkata: “Aku bingung saat melihat
seorang manusia yang merasa berharta yang membagikan sedekah kepada fakir dan
miskin dengan membiarkan mereka berdesakan dan berhimpitan bahkan terjepit di
sela terali besi. Jeritan para ibu dan tangisan para balita seakan
me’nyemarak’an pesta kaum papa itu. Terakhir aku mendengar berita ada yang mati
di kerumunan itu.”. Saat mengucapkan bagian terakhir dari curhatnya itu
terlihar wajah Sastro yang serius dan tegang. Nampaknya ia benar-benar
merasakan kepedihan keluarga yang ditinggalkan korban.
“Apakah
manusia mulai berani memposisikan dirinya pada derajat penghambaan orang lain
kepadanya?” kata Sastro tiba-tiba.
Kini
laki-laki itu yang terkejut mendengar pertanyaannya yang ‘nyelonong’ dari mulut
lugu seorang Sastro. Keterkejutan itu ditutupi dengan pertanyaan: “Apakah
maksudmu ada manusia yang memposisikan diri sebagai Tuhan seperti Fir’aun…?”,
dengan sigap dan secepat kilat Sastro segera memeotong ucapan laki-laki itu :
“Bukan aku lho yang ngomong…, mas sendiri yang membuat kesimpulannya. Aku nggak
ikut-ikut kalau terjadi apa-apa karena mas sudah menyinggung masalah
ketuhanannya Gusti Allah”.
Sastro
memang istiqamah dalam meyakini bahwa Tuhan itu nggak boleh dibahas karena hanya
makhluk yang boleh dipelajari. Salah seorang kyai pernah mengatakan : “Jangan
memikirkan dzat-Nya dan pikirkanlah tentang makhluk-Nya…”.
Tapi hati
kecil Sastro yang murni (he..he..he) membenarkan kesimpulan itu dan merasakan
bahwa seperti itulah yang terjadi.
Sastro
menunduk layu seraya mendesah : “Susah betul jadi orang yang jujur kepada pada
hati…”
Wallahu
a’lam…hanya Allah yang tahu… Juga hati nurani Sastro sendiri
(Rakhmat Hidayat)
(Rakhmat Hidayat)
0 komentar:
Posting Komentar