Bani Israil VS Umat Muhammad SAW
Ustadz Rakhmat Hidayat
Al Quran Kitab Teruji Sempurna
Al
Quran adalah kitab samawi yang kandungannya sarat dengan kemurnian
hikmah dan keagungan filsafat yang mengalir dalam setiap aspek manusia.
Kesempurnaannya dalam menghidangkan solusi hidup dan kehidupan membuat
takjub setiap orang yang berusaha mendalami dan menyelaminya samudera
ma’rifatnya.
Manusia
yang bersedia mengkaji secara seksama akan menemukan bahwa solusi bagi
setiap masalah yang berhubungan dengan hidupnya telah termaktub dalam
kitab samawi itu.
Bahkan
jika ia bersedia merenung sejenak dan berjalan bersama ayat-ayatnya, ia
akan menemukan sebuah cermin besar nan bening yang memantulkan gambar
dirinya dengan apa adanya, tanpa rekayasa.
Allah berfirman :
Dan
diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah
ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata:
"Aduhai celaka kami, Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan hal yang
kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan
mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu
tidak menganiaya seorangpun". (Q.S. Al Kahfi : 49)
Melihat
hakikat yang disampaikan dalam ayat diatas maka pantaslah jika kemudian
dengan lantang Al Quran melontarkan tantangan kepada para penentang :
Dan
jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan
kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al
Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu
orang-orang yang benar. (Q.S. Al Baqarah : 23)
Atau
(patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah:
"(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah
surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil
(untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." (Q.S. Yunus : 38)
Bahkan
mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu",
Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat yang
dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu
sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar". (Q.S. Huud : 13)
Al Quran dan kisah umat-umat terdahulu
Selain
masalah akidah (ushuludin), syariah (furu’udin) dan akhlak, Al Quran
juga sering memaparkan kisah perjalanan hidup kaum-kaum yang hidup
sebelum kitab Nabi Muhammad saw. itu diturunkan. Dari sini pertanyaan
mendasar sering muncul di hadapan para peneliti Al Quran: Apakah hikmah
dan tujuan dibalik penyebutan kisah-kisah itu?.
Setelah
sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Al Quran adalah kitab yang
didalamnya segala makrifat terkumpul, semua ma’alim dan ta’alim menyatu
dan keseimbangan antara bagian-bagian hidup dan kehidupan bersenyawa
maka setiap muslim meyakini bahwa pemaparan kisah-kisah itu tidak hanya
sebuah informasi bahwa kaum-kaum itu pernah ada sebelumnya. Karena Al
Quran bukanlah kitab kisah. Meskipun kita mendapati Al Quran, dalam
banyak kesempatan, menggunakan kata qishash atau qishshah
namun hal itu merupakan simbol bagi hakikat-hakikat yang ingin
disampaikan. Dengan kata lain kisah-kisah itu disampaikan hanya sebagai wasilah (alat) dan bukan ghaayah (tujuan). Jadi, apakah tujuan dari penyampaian kisah-kisah masa lalu umat terdahulu itu?
Sebagai langkah ihtiyat (hati-hati), kita akan mencari jawaban pertanyaan itu melalui firman-firman Allah dalam Al Quran.
Dalam
banyak ayat, Allah berfirman bahwa penyebutan kisah-kisah kaum yang
pernah hidup pada masa lalu bertujuan untuk menjadi cermin dan
peringatan agar umat yang datang kemudian tidak terjerumus kedalam
jurang yang sama.
Dalam beberapa ayat dibawah ini Allah berfirman :
Dan
Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu
pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera
yang hina". Maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi
orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta
menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Baqarah : 65-66)
Sesungguhnya
telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu
(bertempur]. Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang
lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang
muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya
siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat
pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. (Q.S. Ali Imran : 13)
Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. (Q.S. Al Haaqqah : 12)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang mengukuhkan kesimpulan ini.
Bani Israil, bencana warisan umat masa lalu
Bani
Israil adalah umat masa lalu yang banyak disebutkan perjalanan hidupnya
oleh Al Quran. Dari semua ayat yang membicarakan kaum yang satu ini
memberikan gambaran betapa keingkaran, keras kepala dan kesombongan
selalu akrab dengan sepak terjangnya. Tindakan yang cukup menjadi bukti
akan hal itu adalah perbuatan mereka membunuh para nabi yang diutus bagi
mereka setiap kali risalah mereka (para nabi) tidak sesuai dengan
keinginan hawa nafsunya.
Dan
Sesungguhnya kami Telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan
kami Telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan
rasul-rasul, dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat)
kepada Isa putera Maryam dan kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus.
Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran)
yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa
orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain)
kamu bunuh? (Q.S. Al Baqarah : 87)
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang
diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami Hanya beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami". dan mereka kafir kepada Al Quran yang
diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang
membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu
membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?"
Ironisnya,
kesombongan itu muncul dari kesalahan dalam memahami dan menanggapi
kasih sayang Allah kepada mereka. Kasih sayang Allah itu dibuktikan
dengan dengan tidak ‘bosan’nya Ia melimpahkan karunia kepada mereka
termasuk pengampunan bagi mereka (bahkan) setelah kemaksiatan yang
nyata.
Sedemikian
sombongnya kaum yang satu ini sampai-sampai mereka tidak pernah berdoa.
Setiap kali mereka menginginkan sesuatu maka mereka akan datang menemui
Musa as. untuk memohonkannya kepada Allah.
Dibawah ini beberapa ayat yang menjelaskan bagaimana Allah me’manja’kan mereka dengan limpahan karunia dan nikmat :
· Pada suatu hari mereka berjalan dibawah terik matahari gurun Sina. Tiada pohon yang menaungi dan tiada tempat berteduh.
Dan
kami naungi kamu dengan awan, dan kami turunkan kepadamu "manna" dan
"salwa", makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan
kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah
yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. Al Baqarah : 57)
· Setelah
Nabi Musa as. menyelamatkan mereka dari kejaran tentara Fir’aun dengan
terbelahnya lautan oleh tongkat Musa as. dan dengan ijin Allah, ia (Musa
as.) diperintahkan untuk menemui Tuhannya dan meninggalkan kaum Bani
Israil selama empat puluh malam. Ternyata, waktu sesingkat itu telah
mampu mengubah hati mereka dari keimanan yang bersemi dalam hati setelah
melihat mukjizat Nabi Musa as. menjadi hati yang tersesat dan
menyekutukan Sang Pencipta. Mereka menjadikan ‘anak sapi’ sebagai
sesembahan. Meski demikian Allah masih mengampuni mereka dengan tujuan
agar mereka menyadari kesalahannya dan bersyukur.
Dan
(ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat,
sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan)
sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah
itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (Q.S. Al Baqarah : 51-52)
· Pada
saat mengalami musim kering, mereka mendatangi Musa untuk memohonkan
air kepada Allah. Dengan segera Allah mengabulkan permohonan Musa as.
Dan
(Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami berfirman:
"Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua
belas mata air. sungguh tiap-tiap suku Telah mengetahui tempat minumnya
(masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Q.S. Al Baqarah : 60)
Beberapa
peristiwa diatas hanyalah sebagian kecil dari perlakukan ‘istimewa’
Allah terhadap kaum-Nya yang satu ini. Begitu melimpah nikmat Allah bagi
Bani Israil hingga banyak ayat yang berhubungan dengan mereka didahului
dengan kalimat “Wahai Bani Israil, ingatlah akan segala nikmat yang telah Kucurahkan pada kalian…!”
Namun
Bani Israil lupa diri dan menanggapi melimpahnya karunia Tuhan atas
mereka sebagai hak istimewa sebagai Bani Israil. Akhirnya, saat Allah
menghendaki syukur atas nikmat-Nya, mereka persembahkan kufur dan takabur.
Kasih
sayang Allah yang ditunjukkan dalam setiap pemberian-Nya dimaksudkan
untuk mengangkat derajat Bani Israil dengan bersyukur. Sayangnya, tidak
demikian menurut mereka. Semakin berlimpah siraman rahmat, mereka
semakin merasa menjadi umat termulia dan menganggap umat yang lain hina
dan harus tunduk kepada mereka. Apalagi setelah Allah berfirman :
Hai
Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas
segala umat (Q.S. Al Baqarah : 47)
Bani
Israil menganggap janji Allah sebagai sebuah ketentuan pasti tanpa
syarat. Mereka adalah kaum mulia karena mereka Bani Israil. Padahal
maksud dari ayat diatas adalah bahwa Allah memberikan fasilitas sangat
melimpah sebagai potensi untuk menjadi umat termulia. Kemuliaan hanya
akan dicapai jika mereka menggunakan fasilitas-faslitas itu secara
optimal dan akan menjadi bomerang jika hal itu tidak dilakukan. Bukankah
semakin tajam sebilah pedang akan semakin berguna meski akan semakn
mudah melukai jika tidak waspada dalam menggunakannya.
Kesombongan
Bani Israil sampai pada derajat dimana mereka menyombongkan diri di
hadapan Tuhannya. Mereka mengaku sebagai umat yang kebal terhadap hukum
dan aturan-Nya. Seandainya mereka berdosapun, mereka tidak akan disiksa
oleh-Nya kecuali sebentar saja karena mereka adalah umat terkasih-Nya.
Ucapan mereka diabadikan dalam Al Quran :
Dan
mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka,
kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima
janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah
kamu Hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (Q.S. Al Baqarah : 80)
Penolakan Bani Israil atas kenabian Muhammad saw.
Kesombongan
Bani Israil menjadikan mereka melihat manfaat dan madharat dari sudut
pandang hawa nafsu mereka. Dengan sifat mereka yang senantiasa
mengagungkan diri dan menganggap hina kaum lain maka seringkali terjadi
benturan antara kepentingannya dengan kepentingan kaum lain.
Kian hari tekanan demi tekanan menghimpit mereka sampai akhirnya mereka memohon kepada Allah agar Dia ‘mengirimkan’ penolong dan juru selamat.
Allahpun
mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim seorang utusan yang akan
menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kehinaan. Mereka belum
mengetahui bahwa sang juru selamat tidak berasal dari kaum mereka.
Betapa terkejutnya mereka saat mengatahui bahwa juru selamat mereka
berasal dari bangsa yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya, bangsa
Arab.
Kesombongan
kesukuan segera menyala bagai bahan bakar yang tersambar api. Berkobar
dengan sangat cepat dan membakar semua sikap pasrah dan ikhlas terhadap
titah Tuhannya. Padahal apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tidak
bertentangan dengan kitab yang menjadi sandaran mereka. Dengan kata
lain, penentangan mereka tidak berlandaskan argumentasi aqli apalagi nilai ta’abud. Landasan utama sikap mereka adalah ananiyah dan ta’ashub.
Peristiwa ini diabadikan dalam Al Quran :
Dan
setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa
yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (kedatangan
Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah
datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui (orang Arab), mereka
lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang
ingkar itu. (Q.S. Al Baqarah : 89)
Pada
dasarnya, mereka tidak menentang kenabian Muhammad saw. tapi menentang
semua hal yang bertentangan dengan hawa nafsu dan keegoisannya. Para
nabi yang berasal dari kaum mereka juga mereka dustakan bahkan dibunuh.
Kerena itu, meskipun mereka menyatakan penolakan terhadap nabi non Bani
Israil, Al Quran menyangkal dengan logika yang sangat sempurna:
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang
diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami Hanya beriman kepada apa yang
diturunkan kepada kami". dan mereka kafir kepada Al Quran yang
diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang
membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu
membunuh nabi-nabi Allah (dari Bani Israil) jika benar kamu orang-orang
yang beriman?" (Q.S. Al Baqarah : 91)
Hal ini mengandung sebuah pelajaran teramat penting bagi kita bahwa ada tiga hal yang harus senantiasa diminta dari Allah :
1. Agar Allah menunjukkan yang haq.
Banyak manusia yang tersesat dari jalan Allah dan lebih memilih jalan syaitan. Ketaatan
yang seharusnya mudah dan ringan ditampakkan oleh tentara syaitan
sebagai sesuatu yang sulit dan menyusahkan. Demikian pula sebaliknya[1]
2. Agar
Allah menampakkan yang haq kepada kita dan kita mampu melihatnya
sebagai haq. Tidak semua yang baik akan nampak baik di mata kita karena
cara pandang yang kita gunakan bersifat materi duniawi. Maka kebaikan,
bagi kita, adalah pemenuhan keinginan hawa nafsu kita. Jika demikian,
kita akan terjerumus ke lembah bencana yang tampak bagai surga karena
meninggalkan puncak surga yang tampak sebagai bukit belenggu.
Neraka dibungkus dengan yang menggairahkan dan surga dibungkus dengan yang tidak menyenangkan
3. Agar
Allah memberikan kekuatan untuk bisa menjalankan dan memperjuangkan
yang haq. Dengan perjuangan ini Allah akan menunjukkan jalan menuju
kepada-Nya. Allah berfirman :
Dan
orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar
akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al Ankabut : 69)
Bani Israil dan mawas diri umat Muhammad saw.
Jika
kita cermat dalam memahami Al Quran maka akan kita temukan berbagai
‘sindiran’ Allah kepada umat ini melalui pemaparan perjalan hidup
kaum-kaum terdahulu. Termasuk sejarah perjalanan hidup Bani Israil.
Lebih
dari itu kita menemukan fakta yang menjelaskan beberapa persamaan
antara Bani Israil dan umat Muhammad saw. Diantara persamaan itu adalah :
1. Fasilitas sebagai umat termulia
Bani Israil pernah di’nobatkan’ sebagai umat termulia dengan firman Allah :
Hai
Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan
kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas
segala umat (Q.S. Al Baqarah : 47)
Sementara umat Muhammad saw. juga pernah mendapatkan janji yang sama :
Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada
yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.
Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di
antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
yang fasik. (Q.S. Al Baqarah : 110)
Jika
Bani Israil mengalami kehancuran dan jatuh ke lembah kehinaan setelah
sebelumnya diagungkan Allah dan diunggulkan atas umat yang lain maka
tidak mustahil umat Muhammad saw. akan mengalami nasib yang sama jika
tidak mampu memanfaatkan fasilitas unggul yang dianugerahkan kepada
mereka. Fasilitas yang diberikan kepada Bani Israil adalah melimpahnya
segala bentuk kasih sayang Allah terutama diutusnya para nabi kepada
mereka[2].
Sedangkan fasilitas menuju keunggulan yang diberikan kepada umat
Muhammad saw. adalah diutusnya nabi penutup serta syari’at pungkasan
yang sempurna dan akan berlaku hingga akhir jaman.
2. Fenomena kebanggaan terhadap golongan dan nasab.
Janji
yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad saw. sama dengan yang
pernah diberikan kepada Bani Israil. Jika Bani Israil menjadi bangsa
terlaknat karena ta’shub sebagai hasil kesalahan dalam memahami
janji tersebut maka umat Muhammad saw. juga memiliki potensi yang sama
apabila tidak mengambil pelajaran dari perjalanan Bani Israil itu.
Ironisnya,
itulah yang terjadi pada kaum muslimin saat ini. Setiap kelompok Islam
merasa bangga dengan kelompoknya sendiri dan menganggap rendah dan sesat
kelompok lain. Kewajiban seorang muslim adalah mengagungkan syiar-syiar
Allah akan tetapi yang terjadi adalah kecenderungan mengagungkan syiar
kelompok meski untuk itu ia rela menginjak sendi-sendi Islam seperti
silaturahmi dan kasih sayang sesama muslim.
Sudah saatnya kita menjadikan kisah perjalanan hidup Bani Israil sebagai cermin agar umat Islam selamat dari laknat Allah.
Saya
jadi teringat ucapan salah seorang ulama besar, penulis kitab Tafsir Al
Kasyif, Syeikh Jawad Mughniyah. Dalam kitab tersebut beliau berkata :
“Kaum
Yahudi menolak kenabian Muhammad karena ia bukan orang Israil. Abu
Sofyan mengingkari dan memeranginya karena tidak menginginkan kenabian
bagi Bani Hasyim bukan Bani Umayah. Orang-orang Quraisy memerangi Ali karena tidak ingin kenabian dan imamah berkumpul pada Bani Hasyim”. Kemudian beliau berkata : “Berat
bagi orang Arab untuk menerima kepemimpinan non Arab dan berat bagi
orang non Arab untuk menerima kepemimpinan orang Arab. Saya telah
melihat dengan mata kepala saya sendiri banyak orang yang seandainya
disuruh memilih antara dua keadaan : Orang berbondong mengikuti agama
tidak melalui mereka atau tetap tersesat tapi bersama mereka, niscaya
mereka akan memilih agar orang-orang tetap dalam kesesatan asal bersama
mereka…”
3. Kecenderungan menilai baik dan buruk dengan kacamata hawa nafsu.
Allah
adalah pencipta alam semesta sehingga Dia paling tahu tentang apa yang
bermanfaat bagi makhluk-Nya dan apa yang berbahaya baginya.
Dengan
segala keterbatasannya, manusia selalu merasa lebih pintar dari Allah.
Ia tentukan kebaikan dengan kebodohannya sementara hal itu adalah yang
terburuk di mata-Nya dan demikian sebaliknya.
……..boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Abaqarah : 216)
Umat
Muhammad memang tidak membunuh Nabinya sebagaimana yang dilakukan Bani
Israil. Akan tetapi umat Muhammad –disadari atau tidak- telah membunuh
ruh agama dan syari’atnya. Dengan leluasa mereka merubah hukum-hukum
Tuhan sesuai dengan kehendak perut mereka. Mereka melakukan ijtihad
melawan nash yang shahih hanya karena maslahat golongan. Hadits shahih
dan mutawatir yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka di dhaif kan sedang hadits yang lemah menjadi mutawatir dan dijadikan sandaran demi tafsir-tafsir hawa nafsu.
Beberapa
persamaan diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak persamaan
yang bisa kita temukan dengan merenungkan ayat-ayat Al Quran. Jika kita
tidak jeli maka tidak mustahil akan terjadi sebagaimana sering dikatakan
oleh para sejarawan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya.
Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar