Kamis, 12 April 2012

Bani Israil VS Umat Muhammad SAW


Ustadz Rakhmat Hidayat

Al Quran Kitab Teruji Sempurna
Al Quran adalah kitab samawi yang kandungannya sarat dengan kemurnian hikmah dan keagungan filsafat yang mengalir dalam setiap aspek manusia. Kesempurnaannya dalam menghidangkan solusi hidup dan kehidupan membuat takjub setiap orang yang berusaha mendalami dan menyelaminya samudera ma’rifatnya.
Manusia yang bersedia mengkaji secara seksama akan menemukan bahwa solusi bagi setiap masalah yang berhubungan dengan hidupnya telah termaktub dalam kitab samawi itu.
Bahkan jika ia bersedia merenung sejenak dan berjalan bersama ayat-ayatnya, ia akan menemukan sebuah cermin besar nan bening yang memantulkan gambar dirinya dengan apa adanya, tanpa rekayasa.

Allah berfirman :
Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah ini yang tidak meninggalkan hal yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorangpun". (Q.S. Al Kahfi : 49)
Melihat hakikat yang disampaikan dalam ayat diatas maka pantaslah jika kemudian dengan lantang Al Quran melontarkan tantangan kepada para penentang :
Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar. (Q.S. Al Baqarah : 23)
Atau (patutkah) mereka mengatakan "Muhammad membuat-buatnya." Katakanlah: "(Kalau benar yang kamu katakan itu), Maka cobalah datangkan sebuah surat seumpamanya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang yang benar." (Q.S. Yunus : 38)
Bahkan mereka mengatakan: "Muhammad Telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat  yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (Q.S. Huud : 13)
Al Quran dan kisah umat-umat terdahulu
Selain masalah akidah (ushuludin), syariah (furu’udin) dan akhlak, Al Quran juga sering memaparkan kisah perjalanan hidup kaum-kaum yang hidup sebelum kitab Nabi Muhammad saw. itu diturunkan. Dari sini pertanyaan mendasar sering muncul di hadapan para peneliti Al Quran: Apakah hikmah dan tujuan dibalik penyebutan kisah-kisah itu?.
Setelah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Al Quran adalah kitab yang didalamnya segala makrifat terkumpul, semua ma’alim dan ta’alim menyatu dan keseimbangan antara bagian-bagian hidup dan kehidupan bersenyawa maka setiap muslim meyakini bahwa pemaparan kisah-kisah itu tidak hanya sebuah informasi bahwa kaum-kaum itu pernah ada sebelumnya. Karena Al Quran bukanlah kitab kisah. Meskipun kita mendapati Al Quran, dalam banyak kesempatan, menggunakan kata qishash atau qishshah namun hal itu merupakan simbol bagi hakikat-hakikat yang ingin disampaikan. Dengan kata lain kisah-kisah itu disampaikan hanya sebagai wasilah (alat) dan bukan ghaayah (tujuan). Jadi, apakah tujuan dari penyampaian kisah-kisah masa lalu umat terdahulu itu?
Sebagai langkah ihtiyat (hati-hati), kita akan mencari jawaban pertanyaan itu melalui firman-firman Allah dalam Al Quran.
Dalam banyak ayat, Allah berfirman bahwa penyebutan kisah-kisah kaum yang pernah hidup pada masa lalu bertujuan untuk menjadi cermin dan peringatan agar umat yang datang kemudian tidak terjerumus kedalam jurang yang sama.
Dalam beberapa ayat dibawah ini Allah berfirman :
Dan Sesungguhnya Telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar diantaramu pada hari Sabtu, lalu kami berfirman kepada mereka: "Jadilah kamu kera yang hina". Maka kami jadikan yang demikian itu peringatan bagi orang-orang dimasa itu, dan bagi mereka yang datang kemudian, serta menjadi pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al Baqarah : 65-66)
Sesungguhnya telah ada tanda bagi kamu pada dua golongan yang telah bertemu (bertempur]. Segolongan berperang di jalan Allah dan (segolongan) yang lain kafir yang dengan mata kepala melihat (seakan-akan) orang-orang muslimin dua kali jumlah mereka. Allah menguatkan dengan bantuan-Nya siapa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang-orang yang mempunyai mata hati. (Q.S. Ali Imran : 13)
Agar kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kamu dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar. (Q.S. Al Haaqqah : 12)
Dan masih banyak ayat-ayat lain yang mengukuhkan kesimpulan ini.
Bani Israil, bencana warisan umat masa lalu
Bani Israil adalah umat masa lalu yang banyak disebutkan perjalanan hidupnya oleh Al Quran. Dari semua ayat yang membicarakan kaum yang satu ini memberikan gambaran betapa keingkaran, keras kepala dan kesombongan selalu akrab dengan sepak terjangnya. Tindakan yang cukup menjadi bukti akan hal itu adalah perbuatan mereka membunuh para nabi yang diutus bagi mereka setiap kali risalah mereka (para nabi) tidak sesuai dengan keinginan hawa nafsunya.
Dan Sesungguhnya kami Telah mendatangkan Al Kitab (Taurat) kepada Musa, dan kami Telah menyusulinya (berturut-turut) sesudah itu dengan rasul-rasul, dan telah kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan kami memperkuatnya dengan Ruhul Qudus. Apakah setiap datang kepadamu seorang Rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu menyombong; Maka beberapa orang (diantara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? (Q.S. Al Baqarah : 87)
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami Hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kamu orang-orang yang beriman?"
Ironisnya, kesombongan itu muncul dari kesalahan dalam memahami dan menanggapi kasih sayang Allah kepada mereka. Kasih sayang Allah itu dibuktikan dengan dengan tidak ‘bosan’nya Ia melimpahkan karunia kepada mereka termasuk pengampunan bagi mereka (bahkan) setelah kemaksiatan yang nyata.
Sedemikian sombongnya kaum yang satu ini sampai-sampai mereka tidak pernah berdoa. Setiap kali mereka menginginkan sesuatu maka mereka akan datang menemui Musa as. untuk memohonkannya kepada Allah.
Dibawah ini beberapa ayat yang menjelaskan bagaimana Allah me’manja’kan mereka dengan limpahan karunia dan nikmat :
·         Pada suatu hari mereka berjalan dibawah terik matahari gurun Sina. Tiada pohon yang menaungi dan tiada tempat berteduh.
Dan kami naungi kamu dengan awan, dan kami turunkan kepadamu "manna" dan "salwa", makanlah dari makanan yang baik-baik yang telah Kami berikan kepadamu; dan tidaklah mereka menganiaya Kami; akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri. (Q.S. Al Baqarah : 57)
·         Setelah Nabi Musa as. menyelamatkan mereka dari kejaran tentara Fir’aun dengan terbelahnya lautan oleh tongkat Musa as. dan dengan ijin Allah, ia (Musa as.) diperintahkan untuk menemui Tuhannya dan meninggalkan kaum Bani Israil selama empat puluh malam. Ternyata, waktu sesingkat itu telah mampu mengubah hati mereka dari keimanan yang bersemi dalam hati setelah melihat mukjizat Nabi Musa as. menjadi hati yang tersesat dan menyekutukan Sang Pencipta. Mereka menjadikan ‘anak sapi’ sebagai sesembahan. Meski demikian Allah masih mengampuni mereka dengan tujuan agar mereka menyadari kesalahannya dan bersyukur.

Dan (ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat, sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan) sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim. Kemudian sesudah itu Kami maafkan kesalahanmu, agar kamu bersyukur. (Q.S. Al Baqarah : 51-52)
·         Pada saat mengalami musim kering, mereka mendatangi Musa untuk memohonkan air kepada Allah. Dengan segera Allah mengabulkan permohonan Musa as.
Dan (Ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku Telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan. (Q.S. Al Baqarah : 60)
Beberapa peristiwa diatas hanyalah sebagian kecil dari perlakukan ‘istimewa’ Allah terhadap kaum-Nya yang satu ini. Begitu melimpah nikmat Allah bagi Bani Israil hingga banyak ayat yang berhubungan dengan mereka didahului dengan kalimat “Wahai Bani Israil, ingatlah akan segala nikmat yang telah Kucurahkan pada kalian…!”
Namun Bani Israil lupa diri dan menanggapi melimpahnya karunia Tuhan atas mereka sebagai hak istimewa sebagai Bani Israil. Akhirnya, saat Allah menghendaki syukur atas nikmat-Nya, mereka persembahkan kufur dan takabur.
Kasih sayang Allah yang ditunjukkan dalam setiap pemberian-Nya dimaksudkan untuk mengangkat derajat Bani Israil dengan bersyukur. Sayangnya, tidak demikian menurut mereka. Semakin berlimpah siraman rahmat, mereka semakin merasa menjadi umat termulia dan menganggap umat yang lain hina dan harus tunduk kepada mereka. Apalagi setelah Allah berfirman :
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas segala umat (Q.S. Al Baqarah : 47)
Bani Israil menganggap janji Allah sebagai sebuah ketentuan pasti tanpa syarat. Mereka adalah kaum mulia karena mereka Bani Israil. Padahal maksud dari ayat diatas adalah bahwa Allah memberikan fasilitas sangat melimpah sebagai potensi untuk menjadi umat termulia. Kemuliaan hanya akan dicapai jika mereka menggunakan fasilitas-faslitas itu secara optimal dan akan menjadi bomerang jika hal itu tidak dilakukan. Bukankah semakin tajam sebilah pedang akan semakin berguna meski akan semakn mudah melukai jika tidak waspada dalam menggunakannya.
Kesombongan Bani Israil sampai pada derajat dimana mereka menyombongkan diri di hadapan Tuhannya. Mereka mengaku sebagai umat yang kebal terhadap hukum dan aturan-Nya. Seandainya mereka berdosapun, mereka tidak akan disiksa oleh-Nya kecuali sebentar saja karena mereka adalah umat terkasih-Nya. Ucapan mereka diabadikan dalam Al Quran :
Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak akan disentuh oleh api neraka, kecuali selama beberapa hari saja." Katakanlah: "Sudahkah kamu menerima janji dari Allah sehingga Allah tidak akan memungkiri janji-Nya, ataukah kamu Hanya mengatakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui?" (Q.S. Al Baqarah : 80)
Penolakan Bani Israil atas kenabian Muhammad saw.
            Kesombongan Bani Israil menjadikan mereka melihat manfaat dan madharat dari sudut pandang hawa nafsu mereka. Dengan sifat mereka yang senantiasa mengagungkan diri dan menganggap hina kaum lain maka seringkali terjadi benturan antara kepentingannya dengan kepentingan kaum lain.
Kian hari tekanan demi tekanan menghimpit mereka sampai akhirnya  mereka memohon kepada Allah agar Dia ‘mengirimkan’ penolong dan juru selamat.
Allahpun mengabulkan permintaan mereka dengan mengirim seorang utusan yang akan menyelamatkan mereka dari kehancuran dan kehinaan. Mereka belum mengetahui bahwa sang juru selamat tidak berasal dari kaum mereka. Betapa terkejutnya mereka saat mengatahui bahwa juru selamat mereka berasal dari bangsa yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya, bangsa Arab.
Kesombongan kesukuan segera menyala bagai bahan bakar yang tersambar api. Berkobar dengan sangat cepat dan membakar semua sikap pasrah dan ikhlas terhadap titah Tuhannya. Padahal apa yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. tidak bertentangan dengan kitab yang menjadi sandaran mereka. Dengan kata lain, penentangan mereka tidak berlandaskan argumentasi aqli apalagi nilai ta’abud. Landasan utama sikap mereka adalah ananiyah dan ta’ashub.
Peristiwa ini diabadikan dalam Al Quran :
Dan setelah datang kepada mereka Al Quran dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui (orang Arab), mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la'nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu. (Q.S. Al Baqarah : 89)
Pada dasarnya, mereka tidak menentang kenabian Muhammad saw. tapi menentang semua hal yang bertentangan dengan hawa nafsu dan keegoisannya. Para nabi yang berasal dari kaum mereka juga mereka dustakan bahkan dibunuh. Kerena itu, meskipun mereka menyatakan penolakan terhadap nabi non Bani Israil, Al Quran menyangkal dengan logika yang sangat sempurna:
Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kepada Al Quran yang diturunkan Allah," mereka berkata: "Kami Hanya beriman kepada apa yang diturunkan kepada kami". dan mereka kafir kepada Al Quran yang diturunkan sesudahnya, sedang Al Quran itu adalah (Kitab) yang hak; yang membenarkan apa yang ada pada mereka. Katakanlah: "Mengapa kamu dahulu membunuh nabi-nabi Allah (dari Bani Israil) jika benar kamu orang-orang yang beriman?" (Q.S. Al Baqarah : 91)
Hal ini mengandung sebuah pelajaran teramat penting bagi kita bahwa ada tiga hal yang harus senantiasa diminta dari Allah :
1.      Agar Allah menunjukkan yang haq.
Banyak manusia yang tersesat dari jalan Allah dan lebih memilih jalan syaitan. Ketaatan yang seharusnya mudah dan ringan ditampakkan oleh tentara syaitan sebagai sesuatu yang sulit dan menyusahkan. Demikian pula sebaliknya[1]
2.      Agar Allah menampakkan yang haq kepada kita dan kita mampu melihatnya sebagai haq. Tidak semua yang baik akan nampak baik di mata kita karena cara pandang yang kita gunakan bersifat materi duniawi. Maka kebaikan, bagi kita, adalah pemenuhan keinginan hawa nafsu kita. Jika demikian, kita akan terjerumus ke lembah bencana yang tampak bagai surga karena meninggalkan puncak surga yang tampak sebagai bukit belenggu.
Neraka dibungkus dengan yang menggairahkan dan surga dibungkus dengan yang tidak menyenangkan

3.      Agar Allah memberikan kekuatan untuk bisa menjalankan dan memperjuangkan yang haq. Dengan perjuangan ini Allah akan menunjukkan jalan menuju kepada-Nya. Allah berfirman :
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al Ankabut : 69)
Bani Israil dan mawas diri umat Muhammad saw.
            Jika kita cermat dalam memahami Al Quran maka akan kita temukan berbagai ‘sindiran’ Allah kepada umat ini melalui pemaparan perjalan hidup kaum-kaum terdahulu. Termasuk sejarah perjalanan hidup Bani Israil.
Lebih dari itu kita menemukan fakta yang menjelaskan beberapa persamaan antara Bani Israil dan umat Muhammad saw. Diantara persamaan itu adalah :
1.      Fasilitas sebagai umat termulia
Bani Israil pernah di’nobatkan’ sebagai umat termulia dengan firman Allah :
Hai Bani Israil, ingatlah akan nikmat-Ku yang Telah Aku anugerahkan kepadamu dan (ingatlah pula) bahwasanya Aku Telah melebihkan kamu atas segala umat (Q.S. Al Baqarah : 47)
Sementara umat Muhammad saw. juga pernah mendapatkan janji yang sama :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Al Baqarah : 110)
Jika Bani Israil mengalami kehancuran dan jatuh ke lembah kehinaan setelah sebelumnya diagungkan Allah dan diunggulkan atas umat yang lain maka tidak mustahil umat Muhammad saw. akan mengalami nasib yang sama jika tidak mampu memanfaatkan fasilitas unggul yang dianugerahkan kepada mereka. Fasilitas yang diberikan kepada Bani Israil adalah melimpahnya segala bentuk kasih sayang Allah terutama diutusnya para nabi kepada mereka[2]. Sedangkan fasilitas menuju keunggulan yang diberikan kepada umat Muhammad saw. adalah diutusnya nabi penutup serta syari’at pungkasan yang sempurna dan akan berlaku hingga akhir jaman.
2.      Fenomena kebanggaan terhadap golongan dan nasab.
Janji yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad saw. sama dengan yang pernah diberikan kepada Bani Israil. Jika Bani Israil menjadi bangsa terlaknat karena ta’shub sebagai hasil kesalahan dalam memahami janji tersebut maka umat Muhammad saw. juga memiliki potensi yang sama apabila tidak mengambil pelajaran dari perjalanan Bani Israil itu.
Ironisnya, itulah yang terjadi pada kaum muslimin saat ini. Setiap kelompok Islam merasa bangga dengan kelompoknya sendiri dan menganggap rendah dan sesat kelompok lain. Kewajiban seorang muslim adalah mengagungkan syiar-syiar Allah akan tetapi yang terjadi adalah kecenderungan mengagungkan syiar kelompok meski untuk itu ia rela menginjak sendi-sendi Islam seperti silaturahmi dan kasih sayang sesama muslim.
Sudah saatnya kita menjadikan kisah perjalanan hidup Bani Israil sebagai cermin agar umat Islam selamat dari laknat Allah.
Saya jadi teringat ucapan salah seorang ulama besar, penulis kitab Tafsir Al Kasyif, Syeikh Jawad Mughniyah. Dalam kitab tersebut beliau berkata :
Kaum Yahudi menolak kenabian Muhammad karena ia bukan orang Israil. Abu Sofyan mengingkari dan memeranginya karena tidak menginginkan kenabian bagi Bani Hasyim bukan Bani Umayah.  Orang-orang Quraisy memerangi Ali karena tidak ingin kenabian dan imamah berkumpul pada Bani Hasyim”. Kemudian beliau berkata : “Berat bagi orang Arab untuk menerima kepemimpinan non Arab dan berat bagi orang non Arab untuk menerima kepemimpinan orang Arab. Saya telah melihat dengan mata kepala saya sendiri banyak orang yang seandainya disuruh memilih antara dua keadaan : Orang berbondong mengikuti agama tidak melalui mereka atau tetap tersesat tapi bersama mereka, niscaya mereka akan memilih agar orang-orang tetap dalam kesesatan asal bersama mereka…”
3.      Kecenderungan menilai baik dan buruk dengan kacamata hawa nafsu.
Allah adalah pencipta alam semesta sehingga Dia paling tahu tentang apa yang bermanfaat bagi makhluk-Nya dan apa yang berbahaya baginya.
Dengan segala keterbatasannya, manusia selalu merasa lebih pintar dari Allah. Ia tentukan kebaikan dengan kebodohannya sementara hal itu adalah yang terburuk di mata-Nya dan demikian sebaliknya.
……..boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (Q.S. Al Abaqarah : 216) 

Umat Muhammad memang tidak membunuh Nabinya sebagaimana yang dilakukan Bani Israil. Akan tetapi umat Muhammad –disadari atau tidak- telah membunuh ruh agama dan syari’atnya. Dengan leluasa mereka merubah hukum-hukum Tuhan sesuai dengan kehendak perut mereka. Mereka melakukan ijtihad melawan nash yang shahih hanya karena maslahat golongan. Hadits shahih dan mutawatir yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka di dhaif kan sedang hadits yang lemah menjadi mutawatir dan dijadikan sandaran demi tafsir-tafsir hawa nafsu.
Beberapa persamaan diatas hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak persamaan yang bisa kita temukan dengan merenungkan ayat-ayat Al Quran. Jika kita tidak jeli maka tidak mustahil akan terjadi sebagaimana sering dikatakan oleh para sejarawan bahwa sejarah akan mengulangi dirinya.
Wallahu a’lam


[1] Kitab 40 Hadits ( Ayatullah Sayyid Ruhullah Al Musawi Al Khomeini )
[2] Bani Israil adalah kaum yang paling banyak dikirim kepada mereka nabi-nabi Allah swt.

0 komentar:

Posting Komentar